Sabtu, 09 Maret 2019

Budaya Sekolah


MAKALAH FILSAFAT MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
BUDAYA SEKOLAH/MADRASAH
Di ajukan sebagai salah satu tugas kelompok pada mata kuliah Filsafat Manajemen Pendidikan Islam dosen mata kuliah Achmad Junaedi Sitika, S.Ag,.M.Pd.I




Di susun oleh :
DESI PUSPITASARI WN 


MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG
2018


KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah ini  dibuat berdasarkan kebutuhan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Filsafat Manajemen Pendidikan Islam, serta untuk kebutuhan kami agar dapat lebih memahami tentang “Budaya Sekolah/Madrasah”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini sehingga makalah ini selesai tepat pada waktunya. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini karena keterbatasan referensi. Mengingat keterbatasan itu, maka kami membuka selebar-lebarnya kritik dan saran dari bapak dosen mata kuliah Filsafat Manajemen Pendidikan Islam khusunya, serta dari rekan-rekan pembaca pada umumnya.
Akhir kata, semoga makalah ini bisa bermanfaat dan dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.




Karawang, 25 September 2018


Penulis








DAFTAR ISI



BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
2.2      Manfaat Pengembangan Budaya Sekolah/Madrasah. 3
BAB III PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA




BAB I
PENDAHULUAN



1.1         Latar Belakang

Budaya sekolah adalah nilai-nilai dominan yang didukung oleh sekolah atau falsafah yang menuntun kebijakan sekolah terhadap semua unsur dan komponen sekolah termasuk stakeholders pendidikan, seperti cara melaksanakan pekerjaan di sekolah serta asumsi atau kepercayaan dasar yang dianut oleh personil sekolah.
Budaya sekolah merujuk pada suatu sistem nilai, kepercayaan dan norma-norma yang diterima secara bersama, serta dilaksanakan dengan penuh kesadaran sebagai perilaku alami, yang dibentuk oleh lingkungan yang menciptakan pemahaman yang sama diantara seluruh unsur dan personil sekolah baik itu kepala sekolah, guru, staf, siswa dan jika perlu membentuk opini masyarakat yang sama dengan sekolah.
Perpaduan semua unsur baik siswa, guru, dan orang tua yang bekerjasama dalam menciptakan komunitas yang lebih baik melalui pendidikan yang berkualitas, serta bertanggung jawab dalam meningkatkan mutu pembelajaran di sekolah, menjadikan sekolah kami unggul dan favorit di masyarakat. Keberadaannya sudah menjadi buah bibir. Para orang tua akan berusaha dengan segala cara menyekolahkan anaknya ke tempat kami walaupun dalam ujian tes tertulis, putra-putrinya tidak diterima karena terbatasnya kelas dan tempat yang ada di sekolah.

1.2         Rumusan Masalah

1.      Apa yang dinamakan dengan budaya sekolah/madrasah ?
2.      Apa manfaat dari budaya sekolah/madrasah ?
3.      Bagaimana upaya pengembangan budaya sekolah/madrasah ?

1.3         Tujuan Penulisan

1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan budaya sekolah/ madrasah
2.      Untuk mengetahui apa manfaat budaya sekolah/madrasah.
3.      Untuk mengetahui upaya pengembangan budaya sekolah/madrasah.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1         Budaya Sekolah/Madrasah

Budaya sekolah adalah sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktekkan oleh kepala sekolah, pendidik/guru, petugas tenaga kependidikan/administrasi, siswa, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di masyarakat luas.
Sebuah sekolah harus mempunyai misi menciptakan budaya sekolah yang menantang dan menyenangkan, adil, kreatif, inovatif, terintegratif, dan dedikatif terhadap pencapaian visi, menghasilkan lulusan yang berkualitas tinggi dalam perkembangan intelektualnya dan mempunyai karakter takwa, jujur, kreatif, mampu menjadi teladan, bekerja keras, toleran dan cakap dalam memimpin, serta menjawab tantangan akan kebutuhan pengembangan sumber daya manusia yang dapat berperan dalam perkembangan iptek dan berlandaskan imtaq.
Tuntutan sekolah yang profesional membutuhkan pengelolaan yang tepat melalui pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah. Dengan demikian, lembaga dapat menginventarisir kekuatan-kekuatan dan kebutuhan-kebutuhannya, kelemahan, peluang, hambatan, dan tantangan yang mungkin ada.
Budaya sekolah/Madrasah merupakan hal yang penting dilaksanakan untuk mewujudkan sebuah sekolah/madrasah yang ingin banyak diminati oleh masyarakat. Dan penanaman nilai komitmen dalam berorganisasi termasuk sekolah/madrasah merupakan hal yang sangat penting.
Dengan dimilikinya komitmen pada sebagian besar oknum yang berkaitan dengan sekolah/madrasah, maka kecepatan pertumbuhan sekolah/madrasah akan terjamin.
Sekolah/madrasah yang sudah sangat baik, dapat diketahui dengan seberapa besarnya keinginan masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di sekolah/madrasah tersebut.
Namun demikian sekolah harus tetap berusaha untuk selalu menjadi yang terbaik.
Pada sekolah yang sudah memiliki kondisi yang stabil dan berfokus pada kondisi internal lembaga, dapat menekankan nilai-nilai kerja sama, saling pengertian, semangat persatuan, saling memotivasi, dan membimbing.
Nilai kerja sama merupakan nilai yang sangat dipentingkan dalam upaya memperbaiki kondisi internal sekolah/madrasah. Nilai kerja sama mengajarkan kepada orang-orang yang ada di sekolah/madrasah untuk tidak menang sendiri, terutama pada orang-orang yang memiliki jabatan tertentu, untuk tetap mampu menggunakan jabatannya dalam membangun tim kerja yang solid.

2.2         Manfaat Pengembangan Budaya Sekolah/Madrasah

Beberapa manfaat yang bisa diambil dari upaya pengembangan budaya sekolah, diantaranya:
1.         Menjamin kualitas kerja yang lebih baik
2.         Membuka seluruh jaringan komunikasi dari segala jenis dan level baik komunikasi vertikal maupun horisontal
3.         Lebih terbuka dan transparan
4.         Menciptakan kebersamaan dan rasa saling memiliki yang tinggi
5.         Meningkatkan solidaritas dan rasa kekeluargaan
6.         Jika menemukan kesalahan akan segera dapat diperbaiki dan
7.         Dapat beradaptasi dengan baik terhadap perkembangan IPTEK.
Selain beberapa manfaat di atas, manfaat lain bagi individu (pribadi) adalah :
1.        Meningkatkan kepuasan kerja
2.        Pergaulan lebih akrab
3.        Disiplin meningkat
4.        Pengawasan fungsional bisa lebih ringan
5.        Muncul keinginan untuk selalu ingin berbuat proaktif
6.        Belajar dan berprestasi terus serta
7.        Selalu ingin memberikan yang terbaik bagi sekolah, keluarga, orang lain dan diri sendiri.

2.3         Upaya Pengembangan Budaya Sekolah/Madrasah

Upaya pengembangan budaya sekolah seyogyanya mengacu kepada beberapa prinsip berikut ini.
1.             Berfokus pada Visi, Misi dan Tujuan Sekolah.
Pengembangan budaya sekolah harus senantiasa sejalan dengan visi, misi dan tujuan sekolah. Fungsi visi, misi, dan tujuan sekolah adalah mengarahkan pengembangan budaya sekolah. Visi tentang keunggulan mutu misalnya, harus disertai dengan program-program yang nyata mengenai penciptaan budaya sekolah.
2.             Penciptaan Komunikasi Formal dan Informal.
Komunikasi merupakan dasar bagi koordinasi dalam sekolah, termasuk dalam menyampaikan pesan-pesan pentingnya budaya sekolah. Komunikasi informal sama pentingnya dengan komunikasi formal. Dengan demikian kedua jalur komunikasi tersebut perlu digunakan dalam menyampaikan pesan secara efektif dan efisien.
3.             Inovatif dan Bersedia Mengambil Resiko.
Salah satu dimensi budaya organisasi adalah inovasi dan kesediaan mengambil resiko. Setiap perubahan budaya sekolah menyebabkan adanya resiko yang harus diterima khususnya bagi para pembaharu. Ketakutan akan resiko menyebabkan kurang beraninya seorang pemimpin mengambil sikap dan keputusan dalam waktu cepat.
4.             Memiliki Strategi yang Jelas.
Pengembangan budaya sekolah perlu ditopang oleh strategi dan program. Startegi mencakup cara-cara yang ditempuh sedangkan program menyangkut kegiatan operasional yang perlu dilakukan. Strategi dan program merupakan dua hal yang selalu berkaitan.
5.             Berorientasi Kinerja.
Pengembangan budaya sekolah perlu diarahkan pada sasaran yang sedapat mungkin dapat diukur. Sasaran yang dapat diukur akan mempermudah pengukuran capaian kinerja dari suatu sekolah.
6.             Sistem Evaluasi yang Jelas.
Untuk mengetahui kinerja pengembangan budaya sekolah perlu dilakukan evaluasi secara rutin dan bertahap: jangka pendek, sedang, dan jangka panjang. Karena itu perlu dikembangkan sistem evaluasi terutama dalam hal: kapan evaluasi dilakukan, siapa yang melakukan dan mekanisme tindak lanjut yang harus dilakukan.
7.             Memiliki Komitmen yang Kuat.
Komitmen dari pimpinan dan warga sekolah sangat menentukan implementasi program-program pengembangan budaya sekolah. Banyak bukti menunjukkan bahwa komitmen yang lemah terutama dari pimpinan menyebabkan program-program tidak terlaksana dengan baik.
8.             Keputusan Berdasarkan Konsensus.
Ciri budaya organisasi yang positif adalah pengembilan keputusan partisipatif yang berujung pada pengambilan keputusan secara konsensus. Meskipun hal itu tergantung pada situasi keputusan, namun pada umumnya konsensus dapat meningkatkan komitmen anggota organisasi dalam melaksanakan keputusan tersebut.
9.             Sistem Imbalan yang Jelas.
Pengembangan budaya sekolah hendaknya disertai dengan sistem imbalan meskipun tidak selalu dalam bentuk barang atau uang. Bentuk lainnya adalah penghargaan atau kredit poin terutama bagi siswa yang menunjukkan perilaku positif yang sejalan dengan pengembangan budaya sekolah.
10.         Evaluasi Diri
Evaluasi diri merupakan salah satu alat untuk mengetahui masalah-masalah yang dihadapi di sekolah. Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan curah pendapat atau menggunakan skala penilaian diri. Kepala sekolah dapat mengembangkan metode penilaian diri yang berguna bagi pengembangan budaya sekolah. Halaman berikut ini dikemukakan satu contoh untuk mengukur budaya sekolah.





BAB III
PENUTUP

A.           Kesimpulan

Budaya sekolah adalah sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktekkan oleh kepala sekolah, pendidik/guru, petugas tenaga kependidikan/administrasi, siswa, dan masyarakat sekitar sekolah.
Budaya sekolah/Madrasah merupakan hal yang penting dilaksanakan untuk mewujudkan sebuah sekolah/madrasah yang ingin banyak diminati oleh masyarakat. Dan penanaman nilai komitmen dalam berorganisasi termasuk sekolah/madrasah merupakan hal yang sangat penting. Dengan dimilikinya komitmen pada sebagian besar oknum yang berkaitan dengan sekolah/madrasah, maka kecepatan pertumbuhan sekolah/madrasah akan terjamin.
Beberapa manfaat yang bisa diambil dari upaya pengembangan budaya sekolah, diantaranya : (1) menjamin kualitas kerja yang lebih baik; (2) membuka seluruh jaringan komunikasi dari segala jenis dan level baik komunikasi vertikal maupun horisontal; (3) lebih terbuka dan transparan; (4) menciptakan kebersamaan dan rasa saling memiliki yang tinggi; (4) meningkatkan solidaritas dan rasa kekeluargaan; (5) jika menemukan kesalahan akan segera dapat diperbaiki; dan (6) dapat beradaptasi dengan baik terhadap perkembangan IPTEK.
Upaya pengembangan budaya sekolah seyogyanya mengacu kepada beberapa prinsip berikut ini. (1) Berfokus pada Visi, (2) Penciptaan Komunikasi Formal dan Informal, (3) Inovatif dan Bersedia Mengambil Resiko, (4) Memiliki Strategi yang Jelas, (5) Berorientasi Kinerja, (6) Sistem Evaluasi yang Jelas, (7) Memiliki Komitmen yang Kuat, (8) Keputusan Berdasarkan Konsensus, (9) Sistem Imbalan yang Jelas, (10) Evaluasi Diri.

B.            Saran

Demikian makalah yang dapat disusun dan kami sangat menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan maka kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan pengembangan sangat kami harapkan. Dan semoga ini dapat menambah pengetahuan kita dan bermanfaat. Amin

DAFTAR PUSTAKA

Kamis, 24 Mei 2018

OTONOMI DAERAH

 MAKALAH KEBIJAKAN PENDIDIKAN
OTONOMI PENDIDIKAN
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas individu mata kuliah Kebijakan Pendidikan
Manajemen Pendidikan Islam VI A Dosen mata kuliah Bapak Dr. H Slamet Sholeh. M.Sc

logo unsika








Disusun Oleh:

                                           Desi Puspitasari         1510631120020


MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG
Jl.H.S. Ronggowaluyo, Teluk Jambe Timur, Karawang
2017-2018

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat limpahan rahmat dan nikmat kesempatan sehingga saya bisa menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Dengan judul yang akan saya bahas pada makalah kali ini mengenai “Otonomi Pendidikan”.
Atas dukungan moral dan materi yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka saya mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1.        Bapak Dr. H. Amirudin, M.Pd.I selaku dekan Fakultas Agama Islam
2.        Bapak Dr. H. Masykur H. Mansyur Drs, MM selaku ketua kaprodi jurusan Manajemen Pendidikan Islam
3.        Bapak Dr. H Slamet Sholeh, M.Sc selaku dosen pembimbing mata kuliah yang memberikan saran, ide dalam memberikan masukan kepada saya dalam pembuatan makalah.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna, oleh karena itu saran dan kritik dan membangun dari rekan-rekan sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan makalah ini.


Karawang, 21 Maret  2018


Penyusun









DAFTAR ISI





BAB I

PENDAHULUAN


1.1         Latar Belakang

Kebijakan pendidikan yang awalnya dilakukan secara sentralistik atau terpaku pada pemerintah pusat ternyata tidak mampu mengakomodir segala perbedaan dan kebutuhan setiap daerah di Indonesia yang memiliki keanekaragaman potensi baik alam maupun sumber daya manusianya, maka kemudian bersama dengan adanya reformasi dan dijalankanya otonomi daerah kebijakan pendidikan disentralisasi mulai diberlakukan.
Dengan adanya otonomi dalam bidang pendidikan maka pemerintah pusat telah memberikan kesempatan yang cukup luas kepada pemerintah daerah dan masyarakat untuk berperan aktif dalam pengembangan dan kemajuan dibidang pendidikan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan baik negeri ataupun swasta diberi kewenangan berkesempatan luas untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Salah satu permaslahan dalam otonomi daerah dibidang pendidikan terbentur dalam praktik SDM yang tidak merata. Ini artinya bagi daerah yang memiliki SDM baik maka pelaksanaan otonomi bidang pendidikan akan mampu meningkatkan kualitas pendidikannya. sedangkan bagi daerah yang SDMnya kurang atau dibawah rata-rata maka daerah tersebut akan mengalami kesulitan dalam mengejar ketertinggalannya.

1.2         Rumusan Masalah

1.        Bagaimana konsep otonomi pendidikan ?
2.        Apa saja permasalahan dalam pelaksanaan otonomi pendidikan ?
3.        Bagaimana solusi dari permasalahan otonomi pendidikan ?        
4.        Bagaimana pelaksanaan otonomi daerah dalam dunia pendidikan ?

1.3         Tujuan

1.        Untuk mengetahui konsep otonomi pendidikan.
2.        Untuk mengetahui permasalahan dalam pelaksanaan otonomi pendidikan.
3.        Untuk mengetahui solusi dari permasalahan otonomi pendidikan.
4.        Untuk mengetahui pelaksanaan otonomi daerah dalam dunia pendidikan.

BAB II

PEMBAHASAN


2.1         Konsep Otonomi Pendidikan

Pemberlakuan sistem desentralisasi akibat pemberlakuan Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang otonomi pemerintahan daerah, memberi dampak terhadap pelaksanaan pada manajemen pendidikan yaitu manajemen yang memberi ruang gerak yang lebih luas kepada pengelolaan pendidikan untuk menemukan strategi berkompetisi dalam era kompetitif mencapai output pendidikan yang berkualitas dan mandiri. Kebijakan desentralisasi akan berpengaruh secara signifikan dengan pembangunan pendidikan.
Desentralisasi pendidikan dapat terjadi dalam tiga tingkatan, yaitu Dekonstrasi, Delegasi dan Devolusi (Fiorestal, 1997). Dekonstrasi adalah proses pelimpahan sebagian kewenangan kepada pemerintahan atau lembaga yang lebih rendah dengan supervisi dan pusat. Sementara Delegasi mengandung makna terjadinya penyerahan kekuasaan yang penuh sehingga tidak lagi memerlukan supervisi dan pemerintah pusat.
Pada Tingkat Devolusi di bidang pendidikan terjadi apabila memenuhi 4 ciri, yaitu :
1)      Terpisahnya peraturan perundangan yang mengatur pendidikan di daerah dan di pusat; kebebasan lembaga daerah dalam mengelola pendidikan
2)      Lepas dari supervisi hirarkhis dan pusat dan
3)      Kewenangan lembaga daerah diatur dengan peraturan perundangan.
Berdasarkan ciri-ciri tersebut, proses desentralisasi pendidikan di Indonesia berdasarkan UU No.22 tahun 1999 lebih menjurus kepada Devolusi, yang pertaruran pelaksanaannya tertuang pada Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2000, seluruh urusan pendidkan dengan jelas menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, kecuali Pendidikan Tinggi. Kewenangan Pemerintah Pusat hanya menetapkan standar minimal, baik dalam persyaratan calon peserta didik, kompetensi peserta didik, kurikulum nasional, penilaian hasil belajar, materi pelajaran pokok, pedoman pembiayaan pendidikan  dan melaksanakan fasilitas (Pasal 2 butir II).
Dalam konteks otonomi pendidikan, secara alamiah (nature) pendidikan adalah otonom. Otonomi pada hakikatnya bertujuan untuk memandirikan seseorang atau suatu lembaga atau suatu daerah, sehingga otonomi pendidikan mempunyai tujuan untuk memberi suatu otonomi dalam mewujudkan fungsi manajemen pendidikan kelembagaan.
Namun sejak dilaksanakannya otonomi pendidikan, ternyata pelaksanaannya belum berjalan sebagaimana diharapkan, justru pemberlakuan otonomi membuat banyak masalah yaitu mahalnya biaya pendidikan.
Sedangkan, pengertian otonomi pendidikan sesungguhnya terkandung makna demokrasi dan keadilan sosial, artinya pendidikan dilakukan secara demokrasi sehingga tujuan yang diharapkan dapat diwujudkan dan pendidikan diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat, sesuai dengan cita-cita bangsa dalam mencerdaskan bangsa.
Pengertian otonomi dalam konteks desentralisasi pendidikan, menurut Tilaar mencakup enam aspek, yakni :
1)        Pengaturan perimbangan kewenangan pusat dan daerah 
2)        Manajemen partisipasi masyarakat dalam pendidikan
3)        Penguatan kapasitas manajemen pemerintah daerah 
4)        Pemberdayaan bersama sumber daya pendidikan
5)        Hubungan kemitraan “stakeholders” pendidikan  pengembangan infrastruktur sosial.
Otonomi pendidikan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 adalah terungkap pada Bab Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang tua, Masyarakat dan Pemerintah.
Pada bagian ketiga Hak dan Kewajiban Masyarakat Pasal 8 disebutkan bahwa “Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan ; pasal 9 Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”.

Begitu juga pada bagian keempat Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pasal 11 ayat (2) “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun”. Khusus ketentuan bagi Perguruan  Tinggi, pasal 24 ayat (2) “Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat”.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep otonomi pendidikan mengandung pengertian yang luas, mencakup filosofi, tujuan, format dan isi pendidikan serta manajemen pendidikan itu sendiri. Implikasinya adalah setiap daerah otonomi harus memiliki visi dan misi pendidikan yang jelas dan jauh ke depan dengan melakukan pengkajian yang mendalam dan meluas tentang trend perkembangan penduduk dan masyarakat untuk memperoleh konstruk masyarakat di masa depan dan tindak lanjutnya, merancang sistem pendidikan yang sesuai dengan karakteristik budaya bangsa Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika dalam perspektif tahun 2020.
Kemandirian daerah itu harus diawali dengan evaluasi diri, melakukan analisis faktor internal dan eksternal daerah guna mendapat suatu gambaran nyata tentang kondisi daerah sehingga dapat disusun suatu strategi yang matang dan mantap dalam upaya mengangkat  harkat dan martabat masyarakat daerah yang berbudaya dan berdaya saing tinggi melalui otonomi pendidikan yang bermutu dan produktif.

2.2         Permasalahan dalam Pelaksanaan Otonomi Pendidikan

Pelaksanaan desentralisasi pendidikan atau disebut Otonomi Pendidikan masih belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang diharapkan, disebabkan karena kekurangsiapan pranata sosial, politik dan ekonomi. Otonomi pendidikan akan memberi efek terhadap kurikulum, efisiensi administrasi, pendapatan dan biaya pendidikan serta pemerataannya.
Ada 6 faktor yang menyebabkan pelaksanaan otonomi pendidikan belum jalan, yaitu :
1)        Belum jelas aturan permainan tentang peran dan tata kerja di tingkat kabupaten dan kota.
2)        Pengelolaan sektor publik termasuk pengelolaan pendidikan yang belum siap untuk dilaksankana secara otonom karena SDM yang terbatas serta fasilitas yang tidak memadai.
3)        Dana pendidikan dan APBD belum memadai.
4)        Kurangnya  perhatian pemerintah maupun pemerintah daerah untuk lebih melibatkan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan.
5)        Otoritas pimpinan dalam hal ini Bupati, Walikota sebagai penguasa tunggal di daerah kurang memperhatikan dengan sungguh-sungguh kondisi pendidikan di daerahnya sehingga anggaran pendidikan belum menjadi prioritas utama.
6)        kondisi dan setiap daerah tidak memiliki kekuatan yang sama dalam penyelenggaraan pendidikan disebabkan perbedaan sarana, prasarana dan dana yang dimiliki. Hal ini mengakibatkan akan terjadinya kesenjangan antar daerah, sehingga pemerintah perlu membuat aturan dalam penentuan standar mutu pendidikan nasional dengan memperhatikan kondisi perkembangan kemandirian masing-masing daerah.

2.3         Solusi Permasalahan dalam Pelaksanaan Otonomi Pendidikan

Otonomi pendidikan yang benar harus bersifat accountable, artinya kebijakan pendidikan yang diambil harus selalu dipertanggungjawabkan kepada publik, karena Sekolah didirikan sabagai institusi publik yang melayani kebutuhan masyarakat.
Hal-hal yang dirasakan penting untuk disiapkan dan dilakukan daerah dalam kerangka kebijakan pendidikan pada era otonomi daerah adalah:
1)        Kepemimpinan yang visioner. Kepala daerah yang visioner akan dapat meneropong masa depan dari ketajaman intuisi dan proyeksi ilmiah dengan kamampuan berfikirnya sehingga kebijakan beroientasi pada jangka panjang.
2)        Revolusi mental. Mental korupsi, mental kolusi, mental nepotisme, mental pemalas, mental pejabat, mental pegawai, semua merupakan mental destruktif yang harus dikubur.
3)        Perlu ditanamkan pada seluruh warga di daerah bahwa mereka adalah bagian dari system sehingga apaun yang dilakukanya akan memberikan pengaruh bagi keseluruhan
4)        Menginventarisir secermat mungkin segenap potensi daerah yang dimiliki baik potensi alam, serta potensi manuasianya
5)        Strategi pembangunan pendidikan partisipasif yaitu mendorong terciptanya kesadaran dan kepedulian masyarakat dari seluruh golongan, lapisan, profesi, masyarakat untuk terlibat secara aktif memikirkan dan peduli serta memberikan andil yang nyata dalam setiap pembangunan pendidikan.
Menurut penulis, ada beberapa solusi dalam menghadapi kendala serta  permasalahan yang dalam dsentralisasi pendidikan:
a.         Dampingan dari pemerintah pusat serta pemantauan terhadap daerah otonom yang tertinggal. Selain itu kebijakan pusat haruslah memihak dan mendorong pada peningkatan kualitas daerah.
b.        Kemauan pemerintah daerah untuk melakukan perubahan. Otonomi pendidikan harus mendapat dukungan dari DPRD karena kualitas pendidikan ditentukan oleh kebijakan pemerintah daerah.
c.         Reformasi lembaga keuangan hubungan pusat-daerah. Adanya transparansi keuangan daerah dan pusat akan membatu pelaksanaan pemerataan pendidikan, jika dimungkinkan subsidi silang antara daerah yang kaya kepada daerah yang miskin dapat dilakukan sehingga kualitas pendidikan dengan standar yang ditetapkan bias dicapai.
d.        Membangun pendidikan berbasis mayarakat. Partisipasi masyarakat dalam pendidikan meliputi; dana, pemikiran, dan pengawasan.
Otonomi  pendidikan yang benar harus bersifat accountable, artinya kebijakan pendidikan yang diambil  harus selalu dipertanggungjawabkan kepada publik, karena sekolah didirikan merupakan institusi publik atau lembaga yang melayani kebutuhan masyarakat. Otonomi tanpa disertai dengan akuntabilitas publik bisa menjurus menjadi tindakan yang sewenang-wenang.
Berangkat dan ide otonomi pendidikan muncul beberapa konsep sebagai solusi dalam menghadapi kendala dalam pelaksanaan otonomi pendidikan, yaitu :
1.             Meningkatkan Manajemen Pendidikan Sekolah
Menurut Wardiman Djajonegoro (1995) bahwa kualitas pendidikan dapat ditinjau dan segi proses dan produk. Pendidikan disebut berkualitas dan segi proses jika proses belajar mengajar berlangsung secara efektif, dan peserta didik mengalami pembelajaran yang bermakna. Pendidikan  disebut berkualitas dan segi produk jika mempunyai salah satu ciri-ciri sebagai berikut :
a.         Peserta didik menunjukkan penguasaan yang tinggi terhadap tugas-tugas belajar (learning task) yang harus dikuasai dengan tujuan dan sasaran pendidikan, diantaranya hasil belajar akademik yang dinyatakan dalam prestasi belajar (kualitas internal)
b.        Hasil pendidikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam kehidupan sehingga dengan belajar peserta didik bukan hanya mengetahui sesuatu, tetapi dapat melakukan sesuatu yang fungsional dalam kehidupannya (learning and learning),
c.         Hasil pendidikan sesuai atau relevan dengan tuntutan lingkungan khususnya dunia kerja.
Menghadapi kondisi ini maka dilakukan pemantapan manajemen pendidikan yang bertumpu pada kompetensi guru dan kesejahteraannya. Menurut Penelitian Simmons dan Alexander  (1980) bahwa ada tiga faktor untuk meningkatkan mutu pendidikan, yaitu motivasi guru, buku pelajaran dan buku bacaan serta pekerjaan rumah.
Dari hasil penelitian ini tampak dengan jelas bahwa akhir penentu dalam meningkatkan mutu pendidikan tidak pada bergantinya kurikulum, kemampuan manajemen dan kebijakan di tingkat pusat atau pemerintah daerah, tetapi lebih kepada faktor-faktor internal yang ada di sekolah, yaitu peranan guru, fasilitas pendidikan dan pemanfaatannya. Kepala Sekolah sebagai top manajemen harus mampu memberdayakan semua unit yang dimiliki untuk dapat mengelola semua infrastruktur yang ada demi pencapaian kinerja yang maksimal.

Selain itu, untuk dapat meningkatkan otonomi manajemen sekolah yang mendukung peningkatan mutu pendidikan, Pimpinan Sekolah harus memiliki kemampuan untuk melibatkan partisipasi dan komitmen dan orangtua dan anggota masyarakat sekitar sekolah untuk merumuskan dan mewujudkan visi, misi dan program peningkatan mutu pendidikan  secara bersama-sama; salah satu tujuan UU No.20 Tahun 2003 adalah untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, termasuk dalam meningkatkan sumber dana dalam penyelenggaraan pendidikan.
2.             Reformasi Lembaga Keuangan Hubungan Pusat-Daerah
Perlu dilakukan penataan tentang hubungan keuangan antara Pusat-Daerah menyangkut pengelolaan pendapatan (revenue) dan penggunaannya (expenditure) untuk kepentingan pengeluaran rutin maupun pembangunan daerah dalam rangka memberikan pelayanan publik yang berkualitas.
Sumber keuangan diperoleh dari Pendapatan Asli Daerah, Dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain pendapatan yang syah dengan melakukan pemerataan   diharapkan dapat mendukung pelaksanaan kegiatan pada suatu daerah, terutama pada daerah miskin. Bila dimungkinkan dilakukan subsidi silang antara daerah yang kaya kepada daerah yang miskin, agar pemerataan pendidikan untuk mendapatkan kualitas sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
3.             Kemauan Pemerintah Daerah Melakukan Perubahan
Pada era otonom, kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah daerah. Bila pemerintah daerah memiliki political will yang baik dan kuat terhadap dunia pendidikan, ada peluang yang cukup luas bahwa pendidikan di daerahnya akan maju.
Sebaiknya, kepala daerah yang tidak memiliki visi yang baik di bidang pendidikan dapat dipastikan daerah itu akan mengalami stagnasi dan kemandegan menuju pemberdayaan masyarakat yang well educated dan tidak pernah mendapat momentum yang baik untuk berkembang.


Otonomi pendidikan harus mendapat dukungan DPRD, karena DPRD-lah yang merupakan penentu kebijakan di tingkat daerah dalam rangka otonomi tersebut. Di bidang pendidikan, DPRD harus mempunyai peran yang kuat dalam membangun pradigma dan visi pendidikan di daerahnya. Oleh karena itu, badan legislatif harus diberdayakan dan memberdayakan diri agar mampu menjadi mitra yang baik. Kepala   pemerintahan daerah, kota diberikan masukan secara sistematis dan membangun daerah.
4.             Membangun Pendidikan Berbasis Masyarakat
Kondisi Sumber Daya yang dimiliki setiap daerah tidak merata untuk seluruh Indonesia. Untuk itu, pemerintah daerah dapat melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, ilmuwan, pakar kampus maupun pakar yang dimiliki Pemerintah Daerah Kota sebagai Brain Trust atau Think Thank untuk turut membangun daerahnya, tidak hanya sebagai pengamat, pemerhati, pengecam kebijakan daerah. Sebaliknya, lembaga pendidikan juga harus membuka diri, lebih banyak mendengar opini publik, kinerjanya dan tentang tanggung jawabnya dalam turut serta memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat.
5.             Pengaturan Kebijakan Pendidikan antara Pusat dan Daerah
Pemerintah Pusat   tidak diperkenankan mencampuri urusan pendidikan daerah Pemerintah Pusat hanya diperbolehkan memberikan kebijakan-kebijakan bersifat nasional, seperti aspek mutu dan pemerataan.
Pemerintah pusat menetapkan standard mutu. Jadi, pemerintah pusat hanya berperan sebagai fasilitator dan katalisator bukan regulator. Otonomi pengelolaan pendidikan berada pada tingkat sekolah, oleh karena itu lembaga pemerintah harus memberi pelayanan dan mendukung proses pendidikan agar berjalan efektif dan efisien.



3.1         KesimpulanDesentralisasi pendidikan menempatkan sekolah sebagai garis depan dalam berperilaku untuk mengelola pendidikan. Desentralisasi juga memberikan apresiasi terhadap perbedaan kemampuan dan keberanekaragaman kondisi daerah dan rakyatnya. Perubahan paradigma sistem pendidikan membutuhkan masa transisi.

Desentralisasi pendidikan perlu dikembangkan dengan landasan tujuan, kebijakan dan sasaran yang menghasilkan dampak positif langsung terhadap proses pembangunan daerah, dengan tetap memperhatikan standarisasi nasional pendidikan se­cara utuh mengingat situasi kompetisi untuk menempuh jenjang pendidikan lebih tinggi, persaingan lapangan kerja serta tuntutan sumberdaya manusia dalam pem­bangunan nasional.
Reformasi pendidikan merupakan realitas yang harus dilaksanakan, sehingga diharapkan para pelaku maupun penyelenggara pendidikan harus proaktif, kritis dan mau berubah. Belajar dari pengalaman sebelumnya yang sentralistik dan kurang demokratis membuat bangsa ini menjadi  terpuruk.

 

3.2         Saran






Ed.Surya Adi Subrata Winarna, ”Perkembangan Otonomi daerah di Indonesia (Sejak Proklamasi sampai Awal reformasi), Semarang: Aneka Ilmu, 2003.
Jalal Fasli dan Supriadi dedi, “reformasi pendidikan dalam kontek otonomi daerah”, Yogyakarta: Adicita karya Nusa, 2001.