MAKALAH KEBIJAKAN
PENDIDIKAN
OTONOMI
PENDIDIKAN
Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas individu mata
kuliah Kebijakan Pendidikan
Manajemen
Pendidikan Islam VI A Dosen mata kuliah Bapak
Dr. H Slamet Sholeh. M.Sc

Disusun
Oleh:
Desi Puspitasari 1510631120020
MANAJEMEN
PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS
AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
SINGAPERBANGSA KARAWANG
Jl.H.S.
Ronggowaluyo, Teluk Jambe Timur, Karawang
2017-2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita
panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat limpahan rahmat dan nikmat
kesempatan sehingga saya
bisa menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Dengan judul yang akan saya
bahas pada makalah kali
ini mengenai “Otonomi Pendidikan”.
Atas dukungan
moral dan materi yang diberikan
dalam penyusunan makalah
ini, maka saya mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1.
Bapak
Dr. H. Amirudin, M.Pd.I selaku dekan Fakultas Agama Islam
2.
Bapak
Dr. H. Masykur H. Mansyur Drs, MM selaku ketua kaprodi jurusan Manajemen
Pendidikan Islam
3.
Bapak
Dr. H Slamet Sholeh, M.Sc selaku
dosen pembimbing mata kuliah yang memberikan saran, ide dalam memberikan
masukan kepada saya dalam pembuatan makalah.
Penulis
menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna, oleh karena itu saran dan kritik
dan membangun dari rekan-rekan sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan makalah
ini.
Karawang, 21 Maret 2018
Penyusun
DAFTAR
ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kebijakan pendidikan yang awalnya dilakukan secara sentralistik
atau terpaku pada pemerintah pusat ternyata tidak mampu mengakomodir segala
perbedaan dan kebutuhan setiap daerah di Indonesia yang memiliki keanekaragaman
potensi baik alam maupun sumber daya manusianya, maka kemudian bersama dengan
adanya reformasi dan dijalankanya otonomi daerah kebijakan pendidikan disentralisasi
mulai diberlakukan.
Dengan adanya otonomi dalam bidang pendidikan maka
pemerintah pusat telah memberikan kesempatan yang cukup luas kepada pemerintah
daerah dan masyarakat untuk berperan aktif dalam pengembangan dan kemajuan
dibidang pendidikan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan baik negeri ataupun
swasta diberi kewenangan berkesempatan luas untuk meningkatkan kualitas
pendidikan.
Salah satu permaslahan dalam otonomi daerah dibidang
pendidikan terbentur dalam praktik SDM yang tidak merata. Ini artinya bagi
daerah yang memiliki SDM baik maka pelaksanaan otonomi bidang pendidikan akan
mampu meningkatkan kualitas pendidikannya. sedangkan bagi daerah yang SDMnya
kurang atau dibawah rata-rata maka daerah tersebut akan mengalami kesulitan dalam
mengejar ketertinggalannya.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana konsep otonomi pendidikan ?
2.
Apa saja permasalahan dalam pelaksanaan otonomi
pendidikan ?
3.
Bagaimana solusi dari permasalahan otonomi pendidikan ?
4.
Bagaimana pelaksanaan otonomi daerah dalam dunia
pendidikan ?
1.3
Tujuan
1.
Untuk mengetahui konsep otonomi pendidikan.
2.
Untuk mengetahui permasalahan dalam pelaksanaan otonomi
pendidikan.
3.
Untuk mengetahui solusi dari permasalahan otonomi
pendidikan.
4.
Untuk mengetahui pelaksanaan otonomi daerah dalam dunia
pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Konsep Otonomi Pendidikan
Pemberlakuan sistem desentralisasi
akibat pemberlakuan Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang otonomi pemerintahan daerah,
memberi dampak terhadap pelaksanaan pada manajemen pendidikan yaitu manajemen
yang memberi ruang gerak yang lebih luas kepada pengelolaan pendidikan untuk
menemukan strategi berkompetisi dalam era kompetitif mencapai output pendidikan
yang berkualitas dan mandiri. Kebijakan desentralisasi akan berpengaruh secara
signifikan dengan pembangunan pendidikan.
Desentralisasi pendidikan dapat
terjadi dalam tiga tingkatan, yaitu Dekonstrasi, Delegasi dan Devolusi
(Fiorestal, 1997).
Dekonstrasi adalah proses pelimpahan sebagian kewenangan kepada pemerintahan
atau lembaga yang lebih rendah dengan supervisi dan pusat. Sementara Delegasi
mengandung makna terjadinya penyerahan kekuasaan yang penuh sehingga tidak lagi
memerlukan supervisi dan pemerintah pusat.
Pada Tingkat Devolusi di bidang
pendidikan terjadi apabila memenuhi 4 ciri, yaitu :
1) Terpisahnya peraturan perundangan yang
mengatur pendidikan di daerah dan di pusat; kebebasan lembaga daerah dalam
mengelola pendidikan
2) Lepas dari supervisi hirarkhis dan pusat
dan
3) Kewenangan lembaga daerah diatur dengan
peraturan perundangan.
Berdasarkan ciri-ciri tersebut,
proses desentralisasi pendidikan di Indonesia berdasarkan UU No.22 tahun 1999 lebih menjurus
kepada Devolusi, yang pertaruran pelaksanaannya tertuang pada Peraturan
Pemerintah No.25 Tahun 2000,
seluruh urusan pendidkan dengan jelas menjadi kewenangan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota, kecuali Pendidikan Tinggi. Kewenangan Pemerintah Pusat hanya menetapkan
standar minimal, baik dalam persyaratan calon peserta didik, kompetensi peserta
didik, kurikulum nasional, penilaian hasil belajar, materi pelajaran pokok,
pedoman pembiayaan pendidikan dan melaksanakan fasilitas (Pasal 2 butir
II).
Dalam konteks otonomi pendidikan,
secara alamiah (nature) pendidikan adalah otonom. Otonomi pada hakikatnya
bertujuan untuk memandirikan seseorang atau suatu lembaga atau suatu daerah,
sehingga otonomi pendidikan mempunyai tujuan untuk memberi suatu otonomi dalam
mewujudkan fungsi manajemen pendidikan kelembagaan.
Namun sejak dilaksanakannya otonomi
pendidikan, ternyata pelaksanaannya belum berjalan sebagaimana diharapkan,
justru pemberlakuan otonomi membuat banyak masalah yaitu mahalnya biaya
pendidikan.
Sedangkan, pengertian otonomi
pendidikan sesungguhnya terkandung makna demokrasi dan keadilan sosial, artinya
pendidikan dilakukan secara demokrasi sehingga tujuan yang diharapkan dapat
diwujudkan dan pendidikan diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat, sesuai
dengan cita-cita bangsa dalam mencerdaskan bangsa.
Pengertian otonomi dalam konteks
desentralisasi pendidikan, menurut Tilaar mencakup enam aspek, yakni :
1)
Pengaturan
perimbangan kewenangan pusat dan daerah
2)
Manajemen
partisipasi masyarakat dalam pendidikan
3)
Penguatan
kapasitas manajemen pemerintah daerah
4)
Pemberdayaan bersama
sumber daya pendidikan
5)
Hubungan kemitraan
“stakeholders” pendidikan pengembangan
infrastruktur sosial.
Otonomi pendidikan menurut
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 adalah terungkap pada Bab Hak dan
Kewajiban Warga Negara, Orang tua, Masyarakat dan Pemerintah.
Pada bagian ketiga Hak dan Kewajiban
Masyarakat Pasal 8 disebutkan bahwa “Masyarakat berhak berperan serta dalam
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan ; pasal 9
Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan
pendidikan”.
Begitu juga pada bagian keempat Hak
dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pasal 11 ayat (2) “Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya
pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas
tahun”. Khusus ketentuan bagi Perguruan Tinggi, pasal 24 ayat (2)
“Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai
pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada
masyarakat”.
Dari penjelasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa konsep otonomi pendidikan mengandung pengertian yang luas,
mencakup filosofi, tujuan, format dan isi pendidikan serta manajemen pendidikan
itu sendiri. Implikasinya adalah setiap daerah otonomi harus memiliki visi dan
misi pendidikan yang jelas dan jauh ke depan dengan melakukan pengkajian yang
mendalam dan meluas tentang trend perkembangan penduduk dan masyarakat untuk
memperoleh konstruk masyarakat di masa depan dan tindak lanjutnya, merancang
sistem pendidikan yang sesuai dengan karakteristik budaya bangsa Indonesia yang
Bhineka Tunggal Ika dalam perspektif tahun 2020.
Kemandirian daerah itu harus diawali
dengan evaluasi diri, melakukan analisis faktor internal dan eksternal daerah
guna mendapat suatu gambaran nyata tentang kondisi daerah sehingga dapat
disusun suatu strategi yang matang dan mantap dalam upaya mengangkat
harkat dan martabat masyarakat daerah yang berbudaya dan berdaya saing tinggi
melalui otonomi pendidikan yang bermutu dan produktif.
2.2
Permasalahan
dalam Pelaksanaan Otonomi
Pendidikan
Pelaksanaan desentralisasi pendidikan
atau disebut Otonomi Pendidikan masih belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan
yang diharapkan, disebabkan karena kekurangsiapan pranata sosial, politik dan
ekonomi. Otonomi pendidikan akan memberi efek terhadap kurikulum, efisiensi
administrasi, pendapatan dan biaya pendidikan serta pemerataannya.
Ada 6 faktor yang menyebabkan pelaksanaan otonomi pendidikan
belum jalan, yaitu :
1)
Belum
jelas aturan permainan tentang peran dan tata kerja di tingkat kabupaten dan
kota.
2)
Pengelolaan
sektor publik termasuk pengelolaan pendidikan yang belum siap untuk
dilaksankana secara otonom karena SDM yang terbatas serta fasilitas yang tidak
memadai.
3)
Dana
pendidikan dan APBD belum memadai.
4)
Kurangnya
perhatian pemerintah maupun pemerintah daerah untuk lebih melibatkan masyarakat
dalam pengelolaan pendidikan.
5)
Otoritas
pimpinan dalam hal ini Bupati, Walikota sebagai penguasa tunggal di daerah
kurang memperhatikan dengan sungguh-sungguh kondisi pendidikan di daerahnya
sehingga anggaran pendidikan belum menjadi prioritas utama.
6)
kondisi
dan setiap daerah tidak memiliki kekuatan yang sama dalam penyelenggaraan
pendidikan disebabkan perbedaan sarana, prasarana dan dana yang dimiliki. Hal
ini mengakibatkan akan terjadinya kesenjangan antar daerah, sehingga pemerintah
perlu membuat aturan dalam penentuan standar mutu pendidikan nasional dengan
memperhatikan kondisi perkembangan kemandirian masing-masing daerah.
2.3
Solusi
Permasalahan dalam Pelaksanaan
Otonomi Pendidikan
Otonomi pendidikan yang benar harus
bersifat accountable, artinya kebijakan pendidikan yang diambil harus selalu
dipertanggungjawabkan kepada publik, karena Sekolah didirikan sabagai institusi
publik yang melayani kebutuhan masyarakat.
Hal-hal yang dirasakan penting untuk
disiapkan dan dilakukan daerah dalam kerangka kebijakan pendidikan pada era
otonomi daerah adalah:
1)
Kepemimpinan
yang visioner. Kepala daerah yang visioner akan dapat meneropong masa depan
dari ketajaman intuisi dan proyeksi ilmiah dengan kamampuan berfikirnya
sehingga kebijakan beroientasi pada jangka panjang.
2)
Revolusi
mental. Mental korupsi, mental kolusi, mental nepotisme, mental pemalas, mental
pejabat, mental pegawai, semua merupakan mental destruktif yang harus dikubur.
3)
Perlu
ditanamkan pada seluruh warga di daerah bahwa mereka adalah bagian dari system
sehingga apaun yang dilakukanya akan memberikan pengaruh bagi keseluruhan
4)
Menginventarisir
secermat mungkin segenap potensi daerah yang dimiliki baik potensi alam, serta
potensi manuasianya
5)
Strategi
pembangunan pendidikan partisipasif yaitu mendorong terciptanya kesadaran dan
kepedulian masyarakat dari seluruh golongan, lapisan, profesi, masyarakat untuk
terlibat secara aktif memikirkan dan peduli serta memberikan andil yang nyata
dalam setiap pembangunan pendidikan.
Menurut penulis, ada beberapa solusi
dalam menghadapi kendala serta permasalahan yang dalam dsentralisasi
pendidikan:
a.
Dampingan
dari pemerintah pusat serta pemantauan terhadap daerah otonom yang tertinggal.
Selain itu kebijakan pusat haruslah memihak dan mendorong pada peningkatan
kualitas daerah.
b.
Kemauan
pemerintah daerah untuk melakukan perubahan. Otonomi pendidikan harus mendapat
dukungan dari DPRD karena kualitas pendidikan ditentukan oleh kebijakan
pemerintah daerah.
c.
Reformasi
lembaga keuangan hubungan pusat-daerah. Adanya transparansi keuangan daerah dan
pusat akan membatu pelaksanaan pemerataan pendidikan, jika dimungkinkan subsidi
silang antara daerah yang kaya kepada daerah yang miskin dapat dilakukan
sehingga kualitas pendidikan dengan standar yang ditetapkan bias dicapai.
d.
Membangun
pendidikan berbasis mayarakat. Partisipasi masyarakat dalam pendidikan
meliputi; dana, pemikiran, dan pengawasan.
Otonomi pendidikan yang benar
harus bersifat accountable, artinya kebijakan pendidikan yang diambil
harus selalu dipertanggungjawabkan kepada publik, karena sekolah didirikan
merupakan institusi publik atau lembaga yang melayani kebutuhan masyarakat.
Otonomi tanpa disertai dengan akuntabilitas publik bisa menjurus menjadi tindakan
yang sewenang-wenang.
Berangkat dan ide otonomi pendidikan
muncul beberapa konsep sebagai solusi dalam menghadapi kendala dalam
pelaksanaan otonomi pendidikan, yaitu :
1.
Meningkatkan
Manajemen Pendidikan Sekolah
Menurut Wardiman Djajonegoro (1995) bahwa kualitas
pendidikan dapat ditinjau dan segi proses dan produk. Pendidikan disebut
berkualitas dan segi proses jika proses belajar mengajar berlangsung secara
efektif, dan peserta didik mengalami pembelajaran yang bermakna.
Pendidikan disebut berkualitas dan segi produk jika mempunyai salah satu
ciri-ciri sebagai berikut :
a.
Peserta
didik menunjukkan penguasaan yang tinggi terhadap tugas-tugas belajar (learning
task) yang harus dikuasai dengan tujuan dan sasaran pendidikan, diantaranya
hasil belajar akademik yang dinyatakan dalam prestasi belajar (kualitas
internal)
b.
Hasil
pendidikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam kehidupan sehingga
dengan belajar peserta didik bukan hanya mengetahui sesuatu, tetapi dapat
melakukan sesuatu yang fungsional dalam kehidupannya (learning and learning),
c.
Hasil
pendidikan sesuai atau relevan dengan tuntutan lingkungan khususnya dunia kerja.
Menghadapi kondisi ini maka dilakukan pemantapan
manajemen pendidikan yang bertumpu pada kompetensi guru dan kesejahteraannya.
Menurut Penelitian Simmons dan Alexander (1980) bahwa ada tiga faktor untuk
meningkatkan mutu pendidikan, yaitu motivasi guru, buku pelajaran dan buku
bacaan serta pekerjaan rumah.
Dari hasil penelitian ini tampak dengan jelas bahwa
akhir penentu dalam meningkatkan mutu pendidikan tidak pada bergantinya
kurikulum, kemampuan manajemen dan kebijakan di tingkat pusat atau pemerintah
daerah, tetapi lebih kepada faktor-faktor internal yang ada di sekolah, yaitu
peranan guru, fasilitas pendidikan dan pemanfaatannya. Kepala Sekolah sebagai
top manajemen harus mampu memberdayakan semua unit yang dimiliki untuk dapat
mengelola semua infrastruktur yang ada demi pencapaian kinerja yang maksimal.
Selain itu, untuk dapat meningkatkan otonomi manajemen
sekolah yang mendukung peningkatan mutu pendidikan, Pimpinan Sekolah harus
memiliki kemampuan untuk melibatkan partisipasi dan komitmen dan orangtua
dan anggota masyarakat sekitar sekolah untuk merumuskan dan mewujudkan visi,
misi dan program peningkatan mutu pendidikan secara bersama-sama; salah
satu tujuan UU No.20 Tahun 2003
adalah untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas,
meningkatkan peran serta masyarakat, termasuk dalam meningkatkan sumber dana dalam
penyelenggaraan pendidikan.
2.
Reformasi
Lembaga Keuangan Hubungan Pusat-Daerah
Perlu dilakukan penataan tentang hubungan keuangan
antara Pusat-Daerah menyangkut pengelolaan pendapatan (revenue) dan
penggunaannya (expenditure) untuk kepentingan pengeluaran rutin maupun
pembangunan daerah dalam rangka memberikan pelayanan publik yang berkualitas.
Sumber keuangan diperoleh dari Pendapatan Asli Daerah,
Dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain pendapatan yang syah dengan
melakukan pemerataan diharapkan dapat mendukung pelaksanaan
kegiatan pada suatu daerah, terutama pada daerah miskin. Bila dimungkinkan
dilakukan subsidi silang antara daerah yang kaya kepada daerah yang miskin,
agar pemerataan pendidikan untuk mendapatkan kualitas sesuai dengan standar
yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
3.
Kemauan
Pemerintah Daerah Melakukan Perubahan
Pada era otonom, kualitas pendidikan sangat ditentukan
oleh kebijakan pemerintah daerah. Bila pemerintah daerah memiliki political
will yang baik dan kuat terhadap dunia pendidikan, ada peluang yang cukup luas
bahwa pendidikan di daerahnya akan maju.
Sebaiknya, kepala daerah yang tidak memiliki visi yang
baik di bidang pendidikan dapat dipastikan daerah itu akan mengalami stagnasi
dan kemandegan menuju pemberdayaan masyarakat yang well educated dan tidak
pernah mendapat momentum yang baik untuk berkembang.
Otonomi pendidikan harus mendapat dukungan DPRD,
karena DPRD-lah yang merupakan penentu kebijakan di tingkat daerah dalam rangka
otonomi tersebut. Di bidang pendidikan, DPRD harus mempunyai peran yang kuat
dalam membangun pradigma dan visi pendidikan di daerahnya. Oleh karena itu,
badan legislatif harus diberdayakan dan memberdayakan diri agar mampu menjadi
mitra yang baik. Kepala pemerintahan daerah, kota diberikan masukan
secara sistematis dan membangun daerah.
4.
Membangun
Pendidikan Berbasis Masyarakat
Kondisi Sumber Daya yang dimiliki setiap daerah tidak
merata untuk seluruh Indonesia. Untuk itu, pemerintah daerah dapat melibatkan
tokoh-tokoh masyarakat, ilmuwan, pakar kampus maupun pakar yang dimiliki
Pemerintah Daerah Kota sebagai Brain Trust atau Think Thank untuk turut
membangun daerahnya, tidak hanya sebagai pengamat, pemerhati, pengecam
kebijakan daerah. Sebaliknya, lembaga pendidikan juga harus membuka diri, lebih
banyak mendengar opini publik, kinerjanya dan tentang tanggung jawabnya dalam
turut serta memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat.
5.
Pengaturan
Kebijakan Pendidikan antara Pusat dan Daerah
Pemerintah Pusat tidak diperkenankan
mencampuri urusan pendidikan daerah Pemerintah Pusat hanya diperbolehkan
memberikan kebijakan-kebijakan bersifat nasional, seperti aspek mutu dan
pemerataan.
Pemerintah pusat menetapkan standard mutu. Jadi,
pemerintah pusat hanya berperan sebagai fasilitator dan katalisator bukan
regulator. Otonomi pengelolaan pendidikan berada pada tingkat sekolah, oleh
karena itu lembaga pemerintah harus memberi pelayanan dan mendukung proses
pendidikan agar berjalan efektif dan efisien.
3.1 KesimpulanDesentralisasi pendidikan menempatkan sekolah sebagai garis depan dalam berperilaku untuk mengelola pendidikan. Desentralisasi juga memberikan apresiasi terhadap perbedaan kemampuan dan keberanekaragaman kondisi daerah dan rakyatnya. Perubahan paradigma sistem pendidikan membutuhkan masa transisi.
Desentralisasi pendidikan perlu dikembangkan dengan
landasan tujuan, kebijakan dan sasaran yang menghasilkan dampak positif
langsung terhadap proses pembangunan daerah, dengan tetap memperhatikan
standarisasi nasional pendidikan secara utuh mengingat situasi kompetisi untuk
menempuh jenjang pendidikan lebih tinggi, persaingan lapangan kerja serta
tuntutan sumberdaya manusia dalam pembangunan nasional.
Reformasi pendidikan merupakan realitas yang harus
dilaksanakan, sehingga diharapkan para pelaku maupun penyelenggara pendidikan
harus proaktif, kritis dan mau berubah. Belajar dari pengalaman sebelumnya yang
sentralistik dan kurang demokratis membuat bangsa ini menjadi terpuruk.
3.2
Saran
Ed.Surya Adi Subrata Winarna, ”Perkembangan
Otonomi daerah di Indonesia (Sejak Proklamasi sampai Awal reformasi), Semarang:
Aneka Ilmu, 2003.
Jalal
Fasli dan Supriadi dedi, “reformasi pendidikan dalam kontek otonomi daerah”,
Yogyakarta: Adicita karya Nusa, 2001.
Noor
Isran, Politik-otonomi-part1.pdf.