MAKALAH MANAJEMEN KONFLIK
PENDEKATAN KONFLIK DALAM
ORGANISASI
Di
ajukan sebagai salah satu tugas individu pada mata kuliah Manajemen Konflik Manajemen Pendikan Islam VI
A dosen mata kuliah Bapak Sayan Suryana, S.Ag., MM
Disusun Oleh:
Desi Puspitasari 1510631120020
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS
AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
NEGERI SINGAPERBANGSA KARAWANG
2018
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat serta ridhonya kepada kita semua. Shalawat serta salam selalu
tercurah kepada Nabi Muhammad SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya saya mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna
memenuhi mata kuliah Manajemen Konflik.
Tugas makalah yang berjudul “Pendekatan Konflik dalam Organisasi”
atas dukungan
moral dan materi yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Bapak DR. H. Amirudin, M.Pd.I, selaku
dekan Fakultas Agama Islam.
2. Bapak DR. H. Masykur H. Mansyur Drs, MM.
Selaku ketua kaprodi jurusan Manajemen Pendidikan Islam.
3. Bapak Sayan
Suryana, S.Ag., MM selaku dosen pembimbing mata kuliah yang memberikan, saran,
ide dalam memberikan masukan kepada penulis dalam pembuatan makalah.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna, oleh karena itu
saran dan kritik yang membangun dari rekan-rekan sangat dibutuhkan untuk
penyempurnaan makalah ini.
Karawang, 08 Mei 2018
DAFTAR
ISI
DAFTAR PUSTAKA
1.1
Latar Belakang Masalah
Ilmu pengetahuan dan
teknologi yang berlang-sung sangat cepat, berpengaruh terhadap kehidupan
manusia khusus-nya, dan organisasi pada umumnya. Organisasi harus dapat
menyesu-aikan dengan keadaan dan bahkan harus mengantisipasi perubahan yang
akan terjadi dengan menganalisis kekuatan (strength) dan kele-mahan (weakness) dalam organisasi dan
memanfaatkan peluang (opport-unity) dan mengantisipasi
ancaman (threats) yang mungkin dihadapi pada masa sekarang dan di masa
depan.
Lewin (1971: 138) berang-gapan bahwa
dalam setiap situasi perubahan terdapat faktor-faktor pendorong (driving
forces) dan faktor-faktor penghambat (restraining forces) yang
mempengaruhi. Faktor-faktor pendorong adalah faktor-faktor yang mempengaruhi
situasi yang mendorong dalam arah ter-tentu serta mempertahankan perubahan agar
tetap berlangsung, antara lain; perlakuan
supervisor, persaingan, dan perolehan insentif.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian pendekatan Manajemen konflik ?
2.
Bagaimana Tujuan Pendekatan Manajemen Konflik ?
3.
Apa saja penyebab terjadinya konflik dalam organisasi ?
4.
Apa saja bentuk-bentuk konflik dalam organisasi ?
5.
Bagaimana cara mengatasi dan mengelola konflik dalam organisasi ?
6.
Bagaimana danpak konflik terhadap kinerja ?
1.3
Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian
pendekatan manajemen konflik.
2.
Untuk mengetahui tujuan
pendekatan manajemen konflik.
3.
Untuk mengetahui penyebab
terjadinya konflik dalam organisasi.
4.
Untuk mengetahui bentuk-bentuk
konflik dalam organisasi.
5.
Untuk mengetahui mengatasi
dan mengelola konflik dalam organisasi.
6.
Untuk mengetahui bagaimana danpak konflik terhadap kinerja.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pendekatan Manajemen Konflik Performasi
Kerja
1.
Pengertian Manajemen Konflik
Kata konflik menurut bahasa yunani configere, conflictm yang
berarti saling berbenturan. Arti kata ini menunjuk pada semua bentuk benturan,
tabrakan, ketidaksesuaian, ketidakserasian, pertentangan, perkelahian, oposisi,
dan interaksi – interaksi yang antagonis bertentangan (Kartini Kartono, 1991:
213).
Konflik adalah “ relasi – relasi psikologis yang antagonis, berkaitan
dengan tujuan – tujuan yang tidak bisa disesuaikan, interes – interes eksklusif
yang tidak bisa dipertemukan, sikap – sikap emosional yang bermusuhan, dan
struktur – struktur nilai yang berbeda”. Fink (dalam Kartini Kartono, 1991)
menyebutkan bahwa konflik merupakan “interaksi yang antagonis, mencakup tingkah
laku lahiriah yang tampak jelas, mulai dari bentuk – bentuk perlawanan halus,
terkontrol, tersembunyi, tidak langsung sampai pada bentuk perlawanan terbuka”.
Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku
maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu
pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk
komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luar dan bagaimana
mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi. Bagi pihak
luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya adalah
informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi
efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak
ketiga.
Menurut
Ross (1993), manjemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para
pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahka perselisihan kearah hasil
tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa
penyelesaian konflik. Di samping itu, mungkin atau tidak mungkin dapat
menghasilkan ketenangan, hal positif,kreatif, bermufakat, atau agresif.
Manajemen konflik merupakan
serangkaian aksi dan reaksi antarapelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik.
Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses
yang mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku
maupun pihak luardan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan
interprestasi. Bagi pihak luar (diluar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga,yang
diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku
dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.
2.
Pengertian Pendekatan Manajemen Konflik
dalam Performasi Kerja
Pendekatan manajemen konflik bisa diartikan sebagai pelaksanaan
pendekatan manajemen konflik dalam menyikapi berbagai masalah yang timbul di
kalangan anak asuh. Hal ini dimaksudkan agar setiap anak dapat berfikir cerdas
tentang aspek positif dan negatif dari setiap tingkah laku mereka. Tidak hanya
itu, dengan adanya pendekatan manajemen konflik,diharapkan setiap anak bisa
lebih mudah berinteraksi antar sesama teman,sehingga tidak ada lagi perpecahan
dan kelompok-kelompok kecil di antara mereka.
Dengan demikian Pendekatan manajemen konflik dalam Performansi
kerja bisa diartikan sebagai fungsi perkalian usaha (Effort) atau motivasi
dengan kemampuan (ability) mencerminkan kesanggupan seseorang untuk
melaksanakan tugas sedangkan motivasi mencerminkan bagimana seseorang dengan
penuh semangat menerapkan kemampuan itu. Performansi kerja identik dengan hasil
kerja, sumber daya organisasi manusia memiliki potensi kerja yang bepengaruh
pada organisasi. Karena itu, performansi kerja setiap individu dan kelompok
akan menentukan peringakat ketentuan organsisai.
3.
Tujuan Pendekatan Manajemen Konflik
Manajemen konflik adalah cara
yang dilakukan oleh pimpinan pada saat menanggapi konflik (Hardjaka, 1994),
tujuan manajemen konflik untuk mencapai kinerja yang optimal dengan cara
memelihara konflik tetap fungsional dan meminimalkan akibat konflik yang
merugikan.
Menurut Handoko (1992) terdapat 3 cara dalam
menghadapi konflik:
1)
Stimulasi
konflik
2)
Pengurangan/penekanan
konflik
3)
Penyelesaian
konflik
Mencegah
terjadinya konflik:
1)
Tujuan
organisasi lebih penting dari pada tujuan kelompok
2)
Struktur
tugas yang stabil dan dapat diramalkan
3)
Meningkatkan
dan mengembangkan komunikasi
4)
Menghindari
situasi menang-kalah yang dapat mengorbankan pihak lain
Stimulasi
konflik dilakukan dengan cara:
1)
Meningkatkan
kompetensi dan peluang konflik
2)
Menumbuhkan
ketidakpastian antar kelompok
3)
Memperbaharui
sistem penggajian
Winardi
(1994) berpendapat bahwa manajemen konflik meliputi kegiatan-kegiatan:
1)
Menstiulasi
konflik
2)
Mengurangi/menekankan
konflik
3)
Menyelesaikan
konflik
Pendekatan-pendekatan
yang umum dilakukan terhadap manajemen konflik adalah:
1)
Menetapkan
peraturan-peraturan
2)
Mengubah
peraturan arus kerja
3)
Mengubah
sistem ganjaran
4)
Membentuk
unit khusus
5)
Memberikan
kesempatan kepada pihak-pihak yang mempunyai tujuan
6)
Melatih
pejabat-pejabat kunci untuk mendalami teknik-teknik manajemen konflik.
2.2
Proses Terjadinya Konflik Dalam Performasi
Kerja
Konflik tidak terjadi secara seketika, melainkan
melalui tahapan-tahapan tertentu. Robbins (2003) menjelaskan konflik
terjadi melalui lima tahap, yaitu tahap oposisi atau ketidakcocokan potensial, tahap kognisi dan personalisasi, tahap maksud, tahap
perilaku, dan tahap
hasil.
Tahap I: Oposisi atau Ketidakcocokan Potensial
Langkah pertama dalam proses komunikasi adalah
adanya kondisi yang menciptakan kesempatan untuk munculnya konflik itu. Kondisi
itu tidak perlu langsung mengarah ke konflik, tetapi salah satu kondisi itu
perlu jika konflik itu harus muncul. Demi sederhananya, kondisi ini (yang juga
dapat dipandang sebagai kasus atau sumber konflik) telah dimampatkan ke dalam
tiga kategori umum: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.
Tahap II: Kognisi dan Personalisasi
Jika kondisi-kondisi yang disebut dalam Tahap I
mempengaruhi secara negatif sesuatu yang diperhatikan oleh satu pihak, maka potensi
untuk oposisi atau ketidakcocokan menjadi teraktualkan dalam tahap kedua.
Kondisi anteseden hanya dapat mendorong ke konflik bila satu pihak atau lebih
dipengaruhi oleh, dan sadar akan adanya, konflik itu. Tahap II penting karena
di situlah persoalan konflik cenderung didefinisikan.
Tahap III: Maksud
Maksud
berada di antara persepsi serta emosi orang dan perilaku terang-terangan
mereka. Maksud merupakan keputusan untuk bertindak dalam suatu cara tertentu.
Dapat diidentifikasikan lima maksud penanganan-konflik: bersaing (tegas dan
tidak kooperatif), berkolaborasi (tegas dan kooperatif), menghindari (tidak
tegas dan tidak kooperatif), mengakomodasi (kooperatif dan tidak tegas), dan
berkompromi (tengah-tengah dalam hal ketegasan dan kekooperatifan)
Tahap IV: Perilaku
Perilaku
konflik ini biasanya secara terang-terangan berupaya untuk melaksanakan
maksud-maksud setiap pihak. Tetapi perilaku-perilaku ini mempunyai suatu
kualitas rangsangan yang terpisah dari maksud. Sebagai hasil perhitungan atau
tindakan yang tidak terampil, kadangkala perilaku terang-terangan menyimpang
dari maksud-maksud yang orsinil.
Tahap V: Hasil
Jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak yang
berkonflik menghasilkan konsekuensi. Hasil ini dapat fungsional, dalam arti
konflik itu menghasilkan suatu perbaikan kinerja kelompok, atau disfungsional
dalam arti merintangi kinerja kelompok.
2.3
Sumber-sumber Konflik
Konflik
dalam organisasi tidak terjadi secara alamiah dan terjadi bukan tanpa sumber
penyebab. Penyebab terjadinya konflik pada setiap organisasi sangat bervariasi
tergantung pada cara individu-individu menafsirkan, mempersepsi, dan memberikan
tanggapan terhadap lingkungan kerjanya. Sumber-sumber konflik organisasi
menurut pandangan Feldman, D.C. dan Arnold, H.J. (1983: 513) menyatakan bahwa,
konflik pada umumnya disebabkan kurangnya koordinasi kerja antar
kelompok/departemen, dan lemahnya sistem kontrol organisasi.
Permasalahan
koordinasi kerja antar kelompok berkenaan dengan saling ketergantungan
pekerjaan, keraguan dalam menjalankan tugas karena tidak terstruktur dalam
rincian tugas, perbedaan orientasi tugas. Sedangkan kelemahan sistem kontrol
organisasi yaitu, kelemahan manajemen dalam merealisasikan sistem penilaian
kinerja, kurang koordinasi antar unit atau bagian, aturan main tidak dapat
berjalan secara baik, terjadi persaingan yang tidak sehat dalam memperoleh
penghargaan. Tosi,
H.L. Rizzo, J.R. dan Carrol, S.J. (1990:523) mengelompokkan sumber-sumber
konflik menjadi tiga yaitu,
1)
Individual
characteristic,
2)
Situational
conditions,
3)
Organizations
structure.
Karakteristik individu meliputi perbedaan
individu dalam hal nilai-nilai, sikap, keyakinan, kebutuhan dan kepribadian,
persepsi ataupun pendapat. Situasi kerja terdiri dari; saling ketergantungan
untuk menjalin kerjasama, perbedaan pendapat antar departemen, perbedaan
status, kegagalan komunikasi, kekaburan bidang tugas.
Sumber terjadinya konflik dalam organisasi, termasuk organisasi sekolah
menurut (Smith, Mazzarella, dan Piele, 1981) antara lain :
1)
Masalah komunikasi. Konflik terjadi karena salah komunikasi atau
distorsi. Salah komunikasi bisa terjadi pada masing – masing atau gabungan
unsur komunikasi. Unsur komunikasi terdiri atas tiga sumber, yaitu :pesan,
saluran, dan penerima.
2)
Struktur organisasi. Struktur organisasi yang secara potensial yang
dapat memunculkan konflik, karena masing-masing unit organisasi memiliki tugas
dan kepentingan yang saling bisa bergesekan dan berbenturan.
3)
Faktor manusia. Yaitu karena sifat-sifat kepribadian yang beragam dan
unik dapat memunculkan konflik. Setiap pribadi dapat saja memiliki kepentingan
dan kebutuhan yang berbeda-beda, begitu juga sikap otoriter, dogmatis, mau
menang sendiri, individualistis dan sebagainya dapat menjadi sumber konflik..
2.4
Bentuk-bentuk Konflik
Konflik yang terjadi dalam
suatu organisasi dapat dibedakan menjadi beberapa macam, salah satunya dari
segi pihak yang terlibat dalam konflik. Dari segi ini konflik dapat dibedakan
sebagai berikut, yaitu :
1.
Konflik
Intrapersonal
Konflik
intrapersonal adalah konflik seseorang dengan dirinya sendiri. Konflik terjadi
bila pada waktu yang sama seseorang memiliki dua keinginan yang tidak mungkin
dipenuhi sekaligus. Ada tiga macam bentuk konflik intrapersonal yaitu :
1)
Konflik
pendekatan-pendekatan, contohnya orang yang dihadapkan pada dua pilihan yang
sama-sama menarik.
2)
Konflik
pendekatan-penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada dua pilihan yang
sama menyulitkan.
3)
Konflik
penghindaran-penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada satu hal yang
mempunyai nilai positif dan negatif sekaligus.
2.
Konflik
Interpersonal
Konflik
Interpersonal adalah pertentangan antar seseorang dengan orang lain karena
pertentengan kepentingan atau keinginan. Hal ini sering terjadi antara dua
orang yang berbeda status, jabatan, bidang kerja dan lain-lain. Konflik
interpersonal ini merupakan suatu dinamika yang amat penting dalam perilaku
organisasi. Karena konflik semacam ini akan melibatkan beberapa peranan dari
beberapa anggota organisasi yang tidak bisa tidak akan mempngaruhi proses
pencapaian tujuan organisasi tersebut.
3.
Konflik
individu dengan individu
Konflik semacam ini dapat
terjadi antara individu pimpinan dengan individu pimpinan dari berbagai
tingkatan. Individu pimpinan dengan individu karyawan maupun antara individu
karyawan dengan individu karyawan lainnya.
4.
Konflik
individu dengan kelompok
Konflik semacam ini dapat
terjadi antara individu pimpinan dengan kelompok ataupun antara individu karyawan
dengan kelompok pimpinan.
5.
Konflik
kelompok dengan kelompok
Ini bisa terjadi antara kelompok
pimpinan dengan kelompok karyawan, kelompok pimpinan dengan kelompok pimpinan
yang lain dalam berbagai tingkatan maupun antara kelompok karyawan dengan
kelompok karyawan yang lain.
Beberapa kejadian konflik telah diidentifikasi
menurut jenis dan macamnya oleh sebagian penulis buku manajemen, perilaku
organisasi, psikolog maupun sosiologi.
Tabel 1. Berbagai
Pandangan Mengenai Bentuk Konflik
No.
|
Penggagas
|
Bentuk Konflik
|
1
|
Soekanto, S. (1981),
|
|
2
|
Polak, M. (1982)
|
|
3
|
Champbell, Corbally, dan
Nystrand (1983)
|
|
4
|
Walton (1987)
|
|
5
|
Owens (1991), Winardi (2004),
Davis and Newstron (1981)
|
|
6
|
Wexley, et al. (1992)
|
|
7
|
Handoko, T.H. (1992)
|
|
8
|
Ruchyat (2001)
|
|
Berdasarkan tabel di atas, pada hakekatnya konflik terdiri atas lima
bentuk, yaitu:
1.
Konflik
dalam diri individu
Konflik ini merupakan konflik internal yang terjadi
pada diri seseorang. (intrapersonal conflict). Konflik ini akan terjadi
ketika individu harus memilih dua atau lebih tujuan yang saling bertentangan,
dan bimbang mana yang harus dipilih untuk dilakukan.
Handoko (1995:349) mengemukakan konflik dalam diri
individu, terjadi bila seorang individu menghadapi ketidakpastian tentang
pekerjaan yang dia harapkan untuk melaksanakannya, bila berbagai permintaan
pekerjaan saling bertentangan, atau bila individu diharapkan untuk melakukan
lebih dari kemampuannya.
Menurut Winardi (2004:169), terdapat tiga tipe konflik pada
tingkat individu, yaitu:
1)
Konflik
Mendekat-mendekat (Approach-approach Conflict).
Konflik
demikian meliputi suatu situasi di mana seseorang harus memilih antara dua
macam alternatif positif dan yang sama-sama memiliki daya tarik yang sama.
Contoh: apabila individu harus memilih antara tindakan menerima sebuah
promosi yang sangat dihargai di dalam organisasi yang bersangkutan dan menerima
pekerjaan baru yang menarik yang ditawarkan oleh perusahaan lain.
2)
Konflik
Menghindari-menghindari (Avoidance-avoidance Conflict).
Situasi yang mengharuskan seseorang memilih antara
dua macam alternatif negatif yang sama tidak memiliki daya tarik sama sekali.
Contoh: apabila kita menghadapi pilihan transfer pekerjaan ke kota lain yang
berada pada lokasi yang tidak menyenangkan atau di PHK oleh organisasi di mana
kita bekerja.
3)
Konflik
Pendekatan-menghindari (Approach-avoidance Conflict).
Konflik
ini meliputi sebuah situasi di mana seseorang harus mengambil keputusan
sehubungan dengan sebuah alternatif yang memiliki konsekuensi positif maupun
negatif yang berkaitan dengannya. Contoh: apabila seseorang diberi tawaran
promosi yang menjanjikan gaji lebih besar, tetapi yang juga sekaligus mengandung
tanggung jawab yang makin meningkat dan yang tidak disukai.
2.
Konflik
antar individu
Konflik antar individu (interpersonal conflict)
bersifat substantif, emosional atau kedua-duanya. Konflik ini terjadi ketika
adanya perbedaan tentang isu tertentu, tindakan dan tujuan di mana hasil
bersama sangat menentukan.
3.
Konflik
antar anggota dalam satu kelompok
Setiap kelompok dapat mengalami konflik substantif
atau efektif. Konflik subtantif terjadi karena adanya latar belakang keahlian
yang berbeda, ketika anggota dari suatu komite menghasilkan kesimpulan yang
berbeda atas data yang sama. Sedangkan konflik efektif terjadi karena
tanggapan emosional terhadap suatu situasi tertentu.
4.
Konflik
antar kelompok
Konflik intergroup terjadi karena adanya
saling ketergantungan, perbedaan persepsi, perbedaan tujuan, dan meningkatnya
tuntutan akan keahlian.
5.
Konflik
antar bagian dalam organisasi
Tentu saja yang mengalami konflik adalah orang,
tetapi dalam hal ini orang tersebut “mewakili” unit kerja tertentu. Menurut Mulyasa
(2004:244) konflik ini terdiri atas
1)
Konflik
vertikal. Terjadi antara pimpinan dengan bawahan yang tidak sependapat tentang
cara terbaik untuk menyelesaikan sesuatu. Misalnya konflik antara kepala
sekolah dengan guru.
2)
Konflik
horizontal. Terjadi antar pegawai atau departemen yang memiliki hierarki yang
sama dalam organisasi. Misalnya konflik antar tenaga kependidikan.
3)
Konflik
lini-staf. Sering terjadi karena adanya perbedaan persepsi tentang keterlibatan
staf dalam proses pengambilan keputusan oleh manajer lini. Misalnya konflik
antara kepala sekolah dengan tenaga administrasi.
4)
Konflik
peran. Terjadi karena seseorang memiliki lebih dari satu peran. Misalnya kepala
sekolah merangkap jabatan sebagai ketua dewan pendidikan.
6.
Konflik
antar organisasi
Konflik antar organisasi terjadi karena mereka
memiliki saling ketergantungan pada tindakan suatu organisasi yang menyebabkan
dampak negatif terhadap organisasi lain. Misalnya konflik yang terjadi antara
sekolah dengan salah satu organisasi masyarakat.
2.5
Mengatasi dan Mengelola Konflik dalam
Organisasi
Konflik
antar individu atau antar kelompok dapat menguntungkan atau merugikan bagi
kelangsungan organisasi. Oleh karena itu, pimpinan organisasi dituntut memiliki
kemampuan manajemen konflik dan memanfaatkan konflik untuk meningkatkan kinerja
organisasi. Criblin (1982:219) mengemukakan manajemen konflik merupakan teknik
yang dilakukan pimpinan organisasi untuk mengatur konflik dengan cara
menentukan peraturan dasar dalam bersaing.
Tosi, et al. (1990) berpendapat bahwa, “Conflict
management mean that a manager takes an active role in addressing conflict
situations and intervenes if needed. Manajemen konflik dalam organisasi
menjadi tanggung jawab pimpinan (manajer) baik manajer tingkat lini (supervisor),
manajer tingkat menengah (middle manager), dan manajer tingkat
atas (top manager), maka diperlukan peran aktif untuk mengarahkan
situasi konflik agar tetap produktif.
Manajemen konflik yang efektif dapat mencapai
tingkat konflik yang optimal yaitu, menumbuhkan kreativitas anggota,
menciptakan inovasi, mendorong perubahan, dan bersikap kritis terhadap
perkembangan lingkungan.
Tujuan manajemen konflik adalah untuk mencapai
kinerja yang optimal dengan cara memelihara konflik tetap fungsional dan
meminimalkan akibat konflik yang merugikan (Walton, R.E. 1987:79). Mengingat
kegagalan dalam mengelola konflik dapat menghambat pencapaian tujuan
organisasi, maka pemilihan terhadap teknik pengendalian konflik menjadi
perhatian pimpinan organisasi.
Sepanjang
kehidupan manusia senantiasa dihadapkan dan bergelut dengan konflik
baik itu secara individu maupun organisasi. Konflik merupakan sesuatu yang
tidak dapat dihindarkan. Demikian halnya dengan kehidupan organisasi, setiap
anggota organisasi senantiasa dihadapkan pada konflik. Agar konflik tidak jadi
berlarut-larut maka konflik dapat dicegah atau dikelola dengan :
1.
Disiplin
Mempertahankan disiplin dapat
digunakan untuk mengelola dan mencegah konflik. Manajer perawat harus
mengetahui dan memahami peraturan-peraturan yang ada dalam organisasi. Jika
belum jelas, mereka harus mencari bantuan untuk memahaminya.
2.
Pertimbangan
pengalaman dalam tahapan kehidupan konflik dapat dikelola dengan mendukung
perawat untuk mencapai tujuan sesuai dengan pengalaman dan tahapan hidupnya.
Misalnya, Perawat junior yang berprestasi dapat dipromosikan untuk mengikuti
pendidikan kejenjang yang lebih tinggi, sedangkan bagi perawat senior yang
berprestasi dapat dipromosikan untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi.
3.
Komunikasi
Suatu Komunikasi yang baik akan menciptakan lingkungan yang terapetik dan kondusif. Suatu upaya yang dapat dilakukan manajer untuk menghindari konflik adalah dengan menerapkan komunikasi yang efektif dalam kegitan sehari-hari yang akhirnya dapat dijadikan sebagai satu cara hidup.
Suatu Komunikasi yang baik akan menciptakan lingkungan yang terapetik dan kondusif. Suatu upaya yang dapat dilakukan manajer untuk menghindari konflik adalah dengan menerapkan komunikasi yang efektif dalam kegitan sehari-hari yang akhirnya dapat dijadikan sebagai satu cara hidup.
4.
Mendengarkan
secara aktif. Mendengarkan secara aktif merupakan hal penting untuk mengelola
konflik. Untuk memastikan bahwa penerimaan para manajer perawat telah memiliki
pemahaman yang benar, mereka dapat merumuskan kembali permasalahan para pegawai
sebagai tanda bahwa mereka telah mendengarkan.
Dalam mengelola konflik tidak
bisa begitu saja tapi di perlukan teknik atau keahlian untuk mengelola konflik
seperti pendekatan dalam resolusi konflik tergantung pada:
1)
Konflik itu
sendiri
2)
Karakteristik
orang-orang yang terlibat di dalamnya
3)
Keahlian
individu yang terlibat dalam penyelesaian konflik
4)
Pentingnya
isu yang menimbulkan konflik
5)
Ketersediaan
waktu dan tenaga
Gibson, (1996) mengatakan, memilih resolusi konflik
yang cocok tergantung pada faktor-faktor penyebabnya, dan penerapan manajemen
konflik secara tepat dapat meningkatkan kreativitas, dan produktivitas bagi
pihak-pihak yang mengalami.
Menurut
Handoko (1992) secara umum, terdapat tiga cara dalam menghadapi konflik yaitu :
1)
stimulasi
konflik,
2)
pengurangan
atau penekanan konflik, dan
3)
penyelesaian
konflik.
Stimulasi
konflik diperlukan apabila satuan-satuan kerja di dalam organisasi terlalu
lambat dalam melaksanakan pekerjaan karena tingkat konflik rendah. Situasi
konflik terlalu rendah akan menyebabkan para karyawan takut berinisiatif
akhirnya menjadi pasif. Perilaku dan peluang yang dapat mengarahkan individu
atau kelompok untuk bekerja lebih baik diabaikan, anggota kelompok saling
bertoleransi terhadap kelemahan dan kejelekan pelaksanaan pekerjaan.
Pimpinan (manajer) organisasi perlu merangsang
timbulnya persaingan dan konflik yang dapat mempunyai dampak peningkatan
kinerja anggota organisasi. Pengurangan atau penekanan konflik, manajer yang
mempunyai pandangan tradisional berusaha menekan konflik sekecil-kecilnya dan
bahkan berusaha meniadakan konflik daripada menstimuli konflik. Strategi
pengurangan konflik berusaha meminimalkan kejadian konflik tetapi tidak
menyentuh masalah-masalah yang menimbulkan konflik. Penyelesaian konflik
berkenaan dengan kegiatan-kegiatan pimpinan organisasi yang dapat mempengaruhi
secara langsung pihak-pihak yang bertentangan.
Demikian halnya, Winardi (2004)
berpendapat bahwa, manajemen konflik meliputi kegiatan-kegiatan;
1)
Menstimulasi
konflik,
2)
Mengurangi
atau menekan konflik, dan
3)
Menyelesaikan
konflik.
Stimulasi konflik diperlukan pada saat unit-unit
kerja mengalami penurunan produktivitas atau terdapat kelompok-kelompok yang
belum memenuhi standar kerja yang ditetapkan. Metode yang dilakukan dalam
menstimulasi konflik yaitu;
1)
Memasukkan
anggota yang memiliki sikap, perilaku serta pandangan yang berbeda dengan norma-norma
yang berlaku,
2)
Merestrukturisasi
organisasi terutama rotasi jabatan dan pembagian tugas-tugas baru,
3)
Menyampaikan
informasi yang bertentangan dengan kebiasaan yang dialami,
4)
Meningkatkan
persaingan dengan cara menawarkan insentif, promosi jabatan ataupun penghargaan
lainnya,
5)
Memilih pimpinan
baru yang lebih demokratis.
Tindakan
mengurangi konflik dilakukan apabila tingkat konflik tinggi dan menjurus pada
tindakan destruktif disertai penurunan produktivitas kerja di tiap unit/bagian.
Metode pengurangan konflik dengan jalan mensubstitusi tujuan-tujuan yang dapat
diterima oleh kelompok-kelompok yang sedang konflik, menghadapkan tantangan
baru kepada kedua belah pihak agar dihadapi secara bersama, dan memberikan
tugas yang harus dikerjakan bersama sehingga timbul sikap persahabatan antara
anggota-anggota kelompok.
Penyelesaian konflik (conflict resolution)
merupakan tindakan yang dilakukan pimpinan organisasi dalam menghadapi
pihak-pihak yang sedang konflik. Metode penyelesaian konflik yang paling banyak
digunakan menurut Winardi (2004) adalah dominasi, kompromis, dan pemecahan
problem secara integratif.
Menurut (Winardi, 1994 : 84- 89) ada
tiga macam tipe metode penyelesaian konflik secara integrative yaitu metode :
1)
Consensus
(concencus)
2)
Konfrontasi
(Confrontation)
3)
Penggunaan
tujuan-tujuan superordinat (Superordinate goals)
4)
Kompetisi
Untuk menangani konflik dengan efektif, kita harus
mengetahui kemampuan diri sendiri dan juga pihak-pihak yang mempunyai konflik. Ada
beberapa cara untuk menangani konflik antara lain :
1)
Introspeksi
diri
2)
Mengevaluasi
pihak-pihak yang terlibat.
Sangat
penting bagi kita untuk mengetahui pihak-pihak yang terlibat. Kita dapat
mengidentifikasi kepentingan apa saja yang mereka miliki, bagaimana nilai dan
sikap mereka atas konflik tersebut dan apa perasaan mereka atas terjadinya
konflik. Kesempatan kita untuk sukses dalam menangani konflik semakin besar
jika kita meliha konflik yang terjadi dari semua sudut pandang.
3)
Identifikasi
sumber konflik
Seperti
dituliskan di atas, konflik tidak muncul begitu saja. Sumber konflik sebaiknya
dapat teridentifikasi sehingga sasaran penanganannya lebih terarah kepada sebab
konflik.
4)
Mengetahui
pilihan penyelesaian atau penanganan konflik yang ada dan memilih yang tepat.
Penyelesaian konflik yang menggambarkan satu pihak
mengalahkan atau mengorbankan yang lain. Penyelesaian bentuk kompetisi dikenal
dengan istilah win-lose orientation.
Win-Lose Orientation terdiri dari lima orientasi
sebagai berikut:
1)
Win-Lose
(Menang – Kalah)
Paradigma
ini mengatakan jika “saya menang, anda kalah “. Dalam gaya ini seseorang
cenderung menggunakan kekuasaan, jabatan, mandat, barang milik, atau
kepribadian untuk mendapatkan apa yang diinginkan dengan mengorbankan orang
lain. Dengan paradigma ini seseorang akan merasa berarti jika ia bisa menang
dan orang lain kalah. Ia akan merasa terancam dan iri jika orang lain menang
sebab ia berpikir jika orang lain menang pasti dirinya kalah. Jika menang pun
sebenarnya ia diliputi rasa bersalah karena ia menganggap kemenangannya pasti
mengorbankan orang lain.
Pihak yang
kalah pun akan menyimpan rasa kecewa, sakit hati, dan merasa diabaikan. Sikap
Menang-Kalah dapat muncul dalam bentuk:
a
Menggunakan orang
lain, baik secara emosional atau pun fisik, untuk kepentingan diri.
b
Mencoba
untuk berada di atas orang lain.
c
Menjelek-jelekkan
orang lain supaya diri sendiri nampak baik.
d
Selalu
mencoba memaksakan kehendak tanpa memperhatikan perasaan orang lain.
e
Iri dan
dengki ketika orang lain berhasil
2)
Lose-Win
(Kalah – Menang)
Dalam gaya ini seseorang tidak mempunyai tuntutan, visi, dan harapan. Ia
cenderung cepat menyenangkan atau memenuhi tuntutan orang lain. Mereka mencari
kekuatan dari popularitas atau penerimaan. Karena paradigma ini lebih
mementingkan popularitas dan penerimaan maka menang bukanlah yang utama.
Akibatnya banyak perasaan yang terpendam dan tidak terungkapkan sehingga akan
menyebabkan penyakit psikosomatik seperti sesak napas, saraf, gangguan sistem
peredaran darah yang merupakan perwujudan dari kekecewaan dan kemarahan yang
mendalam.
3)
Lose-Lose
(Kalah – Kalah)
Biasanya
terjadi jika orang yang bertemu sama-sama punya paradigma Menang-Kalah. Karena
keduanya tidak bisa bernegosiasi secara sehat, maka mereka berprinsip jika
tidak ada yang menang , lebih baik semuanya kalah. Mereka berpusat pada musuh,
yang ada hanya perasaan dendam tanpa menyadari jika orang lain kalah dan
dirinya kalah sama saja dengan bunuh diri.
4)
Win (Menang)
Orang
bermentalitas menang tidak harus menginginkan orang lain kalah. Yang penting
adalah mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Orang bermentalitas menang
menjadi egois dan akan mencapai tujuannya sendiri. Jika hal ini menjadi pola
hidupnya maka ia tidak akan bisa akrab dengan orang lain, merasa kesepian, dan
sulit kerja sama dalam tim.
5)
Win-Win
(Menang-Menang)
Menang-Menang adalah kerangka pikiran dan hati yang
terus menerus mencari keuntungan bersama dalam semua interaksi. Menang-Menang
berarti mengusahakan semua pihak merasa senang dan puas dengan pemecahan
masalah atau keputusan yang diambil. Paradigma ini memandang kehidupan sebagai
arena kerja sama bukan persaingan. Paradigma ini akan menimbulkan kepuasan pada
kedua belah pihak dan akan meningkatkan kerja sama kreatif.
Spiegel
(1994)
menjelaskan ada lima tindakan yang dapat kita lakukan dalam penanganan konflik
:
a)
Berkompetisi. Tindakan ini dilakukan
jika kita mencoba memaksakan kepentingan sendiri di atas kepentingan pihak
lain. Pilihan tindakan ini bisa sukses dilakukan jika situasi saat itu
membutuhkan keputusan yang cepat, kepentingan salah satu
pihak lebih utama dan pilihan kita sangat vital. Hanya perlu diperhatikan situasi menang – kalah (win-win solution) akan terjadi disini. Pihak yang kalah akan merasa dirugikan dan dapat menjadi konflik yang berkepanjangan. Tindakan ini bisa dilakukan dalam hubungan atasan – bawahan, dimana atasan menempatkan kepentingannya (kepentingan organisasi) di atas kepentingan bawahan.
pihak lebih utama dan pilihan kita sangat vital. Hanya perlu diperhatikan situasi menang – kalah (win-win solution) akan terjadi disini. Pihak yang kalah akan merasa dirugikan dan dapat menjadi konflik yang berkepanjangan. Tindakan ini bisa dilakukan dalam hubungan atasan – bawahan, dimana atasan menempatkan kepentingannya (kepentingan organisasi) di atas kepentingan bawahan.
b)
Menghindari
konflik. Tindakan
ini dilakukan jika salah satu pihak menghindari dari situsasi tersebut secara
fisik ataupun psikologis. Sifat tindakan ini hanyalah menunda konflik yang
terjadi. Situasi menag kalah terjadi lagi disini. Menghindari konflik bisa
dilakukan jika masing-masing pihak mencoba untuk mendinginkan suasana,
mebekukan konflik untuk sementara. Dampak kurang baik bisa terjadi jika pada
saat yang kurang tepat konflik meletus kembali, ditambah lagi jika salah satu
pihak menjadi stres karena merasa masih memiliki hutang menyelesaikan persoalan
tersebut.
c)
Akomodasi. Yaitu jika kita mengalah
dan mengorbankan beberapa kepentingan sendiri agar pihak lain mendapat
keuntungan dari situasi konflik itu. Disebut juga sebagai self sacrifying
behaviour. Hal ini dilakukan jika kita merasa bahwa kepentingan pihak lain
lebih utama atau kita ingin tetap menjaga hubungan baik dengan pihak tersebut.
Pertimbangan antara kepentingan pribadi dan hubungan baik menjadi hal yang
utama di sini.
d)
Dominasi
dan Penekanan dominasi
atau kekerasan yang bersifat penekanan otokratik. Ketaatan harus dilakukan oleh
fihak yang kalah pada otoritas yang lebih tinggi atau kekuatan yang lebih
besar. meredakan atau menenangkan, metode ini lebih terasa diplomatis dlm upaya
menekan dan meminimalkan ketidaksepahaman.
e)
Kompromi pemisahan, pihak-pihak
yang berkonflik dipisah sampai menemukan solusi atas masalah yang terjadi.
arbitrasi, adanya peran orang ketiga sebagai penengah untuk penyelesaian
masalah. Kembali ke aturan yang berlaku saat tidak ditemukan titik temu antara
kedua fihak yang bermasalah. Tindakan ini dapat dilakukan jika ke dua belah
pihak merasa bahwa kedua hal tersebut sama –sama penting dan hubungan baik
menjadi yang uatama. Masing-masing pihak akan mengorbankan sebagian
kepentingannya untuk mendapatkan
situasi menang-menang (win-win solution)
f)
Pemecahan
Masalah Integratif konsensus,
sengaja dipertemukan untuk mencapai solusi terbaik, bukan hanya menyelesaikan
masalah dengan cepat. konfrontasi, tiap fihak mengemukakan pandangan
masing-masing secara langsung & terbuka. penentu tujuan, menentukan tujuan
akhir kedepan yang lebih tinggi dengan kesepakatan bersama.
g)
Berkolaborasi. Menciptakan situasi
menang-menag dengan saling bekerja sama.
Pilihan tindakan ada pada diri kita sendiri dengan konsekuensi dari masing-masing tindakan. Jika terjadi konflik pada lingkungan kerja, kepentingan dan hubungan antar pribadi menjadai hal yang harus kita pertimbangkan.
Pilihan tindakan ada pada diri kita sendiri dengan konsekuensi dari masing-masing tindakan. Jika terjadi konflik pada lingkungan kerja, kepentingan dan hubungan antar pribadi menjadai hal yang harus kita pertimbangkan.
2.6
Dampak Konflik terhadap Kinerja Organisasi
Suatu
konflik merupakan hal wajar dalam suatu organisasi. Tjutju Yuniarsih, dkk.
(1998:115), mengemukakan bahwa konflik tidak dapat dihindari dalam organisasi,
akan tetapi konflik antar kelompok sekaligus dapat menjadi kekuatan positif dan
negatif, sehingga manajemen seyogyanya tidak perlu menghilangkan semua konflik,
tetapi hanya pada konflik yang menimbulkan dampak gangguan atas usaha
organisasi mencapai tujuan. Beberapa jenis atau tingkatan konflik mungkin
terbukti bermanfaat jika digunakan sebagai sarana untuk perubahan atau inovasi.
Dengan demikian konflik bukanlah sesuatu yang harus
ditakutkan, tetapi merupakan sesuatu hal yang perlu untuk dikelola agar dapat
memberikan kontribusinya bagi pencapaian tujuan organisasi. Phillip L. Hunsaker
(2001:481) mengemukakan bahwa: Conflict are not negative; they are a natural
feature of every organization and can never be completely eliminated. However,
they can be managed to avoid hostility, lack of cooperation, and failure to
meet goals. When channeled properly, conflicts can lead to creativity,
innovative solving, and positive change (Konflik itu bukan sesuatu yang
negatif, tetapi hal itu secara alami akan tetap ada dalam setiap organisasi.
Bagaimanapun konflik itu bila dikelola dengan baik
maka konflik dapat mendukung percepatan pencapaian tujuan organisasi. Ketika
konflik dikelola secara baik, dapat menumbuhkan kreativitas, inovasi dalam
pemecahan masalah dan menumbuhkan perubahan positif bagi pengembangan
organisasi).
Sejalan dengan pendapat di atas, Richard J. Bodine
(1998:35) mengemukakan bahwa: conflict is a natural, vital part of
life. When conflict is understood, it can become an opportunity to learn and
create. The synergy of conflict can create new alternative ‑ something that was
not possible before. The challenge for people in conflict is to apply the
principles of creative cooperation in their human relationship. . . . without
conflict, there would likely e no personal growth or social change (Konflik
itu terjadi secara alami dan bagian vital dalam kehidupan.
Ketika konflik dapat dipahami secara wajar, ia dapat
menjadi peluang dan kreativitas dalam pembelajaran/pendidikan. Konflik secara
sinergis dapat menumbuhkan kreativitas baru, kadang‑kadang tidak dapat diduga
sebelumnya. Tanpa konflik tidak akan terjadi perubahan bagi pengembangan
pribadi maupun perubahan masyarakat).
Mengingat bahwa konflik tidak dapat dihindari, maka
pendekatan yang baik untuk diterapkan para manajer adalah pendekatan yang
mencoba memanfaatkan konflik sedemikian rupa sehingga konflik dapat memberikan
sumbangan yang efektif untuk mencapai sasaran‑sasaran yang diinginkan. Konflik
sesungguhnya dapat menjadi energi yang kuat jika dikelola dengan baik, sehingga
dapat dijadikan alat inovasi.
Akan tetapi sebaliknya jika tidak dapat
dikendalikan mengakibatkan kinerja organisasi rendah. Hal senada juga
diungkapkan oleh Depdikbud (1983) yang dikutip oleh D. Deni Koswara (1994: 2),
bahwa selain mempunyai nilai positif, konflik juga mempunyai kelemahan, yaitu :
1.
Konflik
dapat menyebabkan timbulnya perasaan “tidak enak” sehingga menghambat
komunikasi.
2.
Konflik
dapat membawa organisasi ke arah disintegrasi.
3.
Konflik
menyebabkan ketegangan antara individu atau kelompok.
4.
Konflik
dapat menghalangi kerjasama di antara individu mengganggu saluran komunikasi.
5.
Konflik
dapat memindahkan perhatian anggota organisasi tujuan organisasi.
Untuk itu pendekatan konflik sebagai bagian normal
dari perilaku dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk mempromosikan dan mencapai
perubahan‑perubahan yang dikehendaki sehingga tujuan organisasi dapat dicapai
secara efektif dan efisien.
Berkaitan dengan hal ini Robbins (2003:162)
mengemukakan bahwa konflik dapat konstruktif maupun destruktif terhadap
berfungsinya suatu kelompok atau unit. Seperti ditunjukkan pada Gambar 3.
Tingkat konflik dapat atau terlalu tinggi atau terlalu rendah. Ekstrim manapun
merintangi kinerja. Suatu tingkat yang optimal adalah kalau ada cukup konflik
untuk mencegah kemacetan, merangsang kreativitas, memungkinkan lepasnya
ketegangan, dan memprakarsai benih-benih untuk perubahan, namun tidak terlalu
banyak, sehingga tidak menggangu atau mencegah koordinasi kegiatan.
Tingkat konflik yang tidak memadai atau berlebihan
dapat merintangi keefektifan dari suatu kelompok atau organisasi, dengan
mengakibatkan berkurangnya kepuasan dari anggota, meningkatnya kemangkiran dan
tingkat keluarnya karyawan, dan pada akhirnya akan menurunkan produktivitas.
Tetapi bila konflik itu berada pada tingkat yang
optimal, puas-diri dan apatis seharusnya diminimalkan, motivasi ditingkatkan
lewat penciptaan lingkungan yang menantang dan mempertanyakan dengan suatu
vitalitas yang membuat kerja menarik, dan sebaiknya ada sejumlah karyawan yang
keluar untuk melepaskan yang tidak cocok dan yang berprestasi buruk dari
organisasi itu.
A.
Kesimpulan
Konflik dalam organisasi bisa terjadi dalam diri
individu pegawai, antar individu, dalam kelompok, antar kelompok dan antar
organisasi, baik secara vertikal maupun horizontal sebagai akibat adanya
perbedaan karakteristik individu, masalah komunikasi dan struktur organisasi.
Konflik dapat bersifat fungsional dan disfungsional. Kemampuan manajemen
konflik dari seorang manajer dituntut untuk mengoptimalkan semua konflik
menjadi fungsional. Kegagalan dalam manajemen konflik mengakibatkan efektivitas
organisasi dipertaruhkan.
Jadi Dengan demikian Pedekatan
manajemen konflik dalam performasi kerja akan dapat mengatasi segala kendala
yang terjadi dalam setiap organisasi yang mengalami segala pertikaian konflik
dalam segala aspek organisasi.
B.
Saran
Demikian
makalah yang dapat saya susun dan saya sangat menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan maka kritik dan
saran yang membangun demi perbaikan dan pengembangan sangat saya harapkan. Dan semoga ini
dapat menambah pengetahuan kita dan bermanfaat. Amin
DAFTAR
PUSTAKA
Kar. DR.
Wahyudi, “ Manajemen Konflik Organisasi “ . Quantum
Teaching. Jakarta 2006
Www.http/Blogspot.com. Tandeas_william .”Pengaruh konflik kerja
terhadap kinerja”, March 18, 2011
Soetopo. Hendyat. “Perilaku Organisasi”. PT. Remaja Rosdakarya.
Bandung. 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar