Kamis, 24 Mei 2018

Pendekatan Konflik dalam Organisasi

MAKALAH MANAJEMEN KONFLIK
PENDEKATAN KONFLIK DALAM ORGANISASI
Di ajukan sebagai salah satu tugas individu pada mata kuliah Manajemen Konflik Manajemen Pendikan Islam  VI A dosen mata kuliah Bapak Sayan Suryana, S.Ag., MM


IMG-20170809-WA0001





Disusun Oleh:
Desi Puspitasari           1510631120020



MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS NEGERI SINGAPERBANGSA KARAWANG
2018



            Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta ridhonya kepada kita semua. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya saya mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi mata kuliah Manajemen Konflik. Tugas makalah yang berjudul Pendekatan Konflik dalam Organisasiatas dukungan moral dan materi yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1.      Bapak DR. H. Amirudin, M.Pd.I, selaku dekan Fakultas Agama Islam.
2.      Bapak DR. H. Masykur H. Mansyur Drs, MM. Selaku ketua kaprodi jurusan Manajemen Pendidikan Islam.
3.      Bapak Sayan Suryana, S.Ag., MM selaku dosen pembimbing mata kuliah yang memberikan, saran, ide dalam memberikan masukan kepada penulis dalam pembuatan makalah.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun dari rekan-rekan sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan makalah ini.


Karawang, 08 Mei 2018











DAFTAR ISI



DAFTAR PUSTAKA









1.1         Latar Belakang Masalah

          Ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlang-sung sangat cepat, berpengaruh terhadap kehidupan manusia khusus-nya, dan organisasi pada umumnya. Organisasi harus dapat menyesu-aikan dengan keadaan dan bahkan harus mengantisipasi perubahan yang akan terjadi dengan menganalisis kekuatan (strength) dan kele-mahan (weakness) dalam organisasi dan memanfaatkan peluang (opport-unity) dan mengantisipasi ancaman (threats) yang mungkin dihadapi pada masa sekarang dan di masa depan.
Lewin (1971: 138) berang-gapan bahwa dalam setiap situasi perubahan terdapat faktor-faktor pendorong (driving forces) dan faktor-faktor penghambat (restraining forces) yang mempengaruhi. Faktor-faktor pendorong adalah faktor-faktor yang mempengaruhi situasi yang mendorong dalam arah ter-tentu serta mempertahankan perubahan agar tetap berlangsung, antara lain; perlakuan supervisor, persaingan, dan perolehan insentif.

1.2         Rumusan Masalah

1.        Apa pengertian pendekatan Manajemen konflik ?
2.        Bagaimana  Tujuan Pendekatan Manajemen Konflik ?
3.        Apa saja penyebab terjadinya konflik dalam organisasi ?
4.        Apa saja bentuk-bentuk konflik dalam organisasi ?
5.        Bagaimana cara mengatasi dan mengelola konflik dalam organisasi ?
6.        Bagaimana danpak konflik terhadap kinerja ?

1.3         Tujuan

1.        Untuk mengetahui pengertian pendekatan manajemen konflik.
2.        Untuk mengetahui tujuan pendekatan manajemen konflik.
3.        Untuk mengetahui penyebab terjadinya konflik dalam organisasi.
4.        Untuk mengetahui bentuk-bentuk konflik dalam organisasi.
5.        Untuk mengetahui mengatasi dan mengelola konflik dalam organisasi.
6.        Untuk mengetahui bagaimana danpak konflik terhadap kinerja.

BAB II

PEMBAHASAN



2.1         Pendekatan Manajemen Konflik Performasi Kerja

1.             Pengertian Manajemen Konflik

Kata konflik menurut bahasa yunani configere, conflictm yang berarti saling berbenturan. Arti kata ini menunjuk pada semua bentuk benturan, tabrakan, ketidaksesuaian, ketidakserasian, pertentangan, perkelahian, oposisi, dan interaksi – interaksi yang antagonis bertentangan (Kartini Kartono, 1991: 213).
Konflik adalah “ relasi – relasi psikologis yang antagonis, berkaitan dengan tujuan – tujuan yang tidak bisa disesuaikan, interes – interes eksklusif yang tidak bisa dipertemukan, sikap – sikap emosional yang bermusuhan, dan struktur – struktur nilai yang berbeda”. Fink (dalam Kartini Kartono, 1991) menyebutkan bahwa konflik merupakan “interaksi yang antagonis, mencakup tingkah laku lahiriah yang tampak jelas, mulai dari bentuk – bentuk perlawanan halus, terkontrol, tersembunyi, tidak langsung sampai pada bentuk perlawanan terbuka”.
Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi. Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.
          Menurut Ross (1993), manjemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahka perselisihan kearah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik. Di samping itu, mungkin atau tidak mungkin dapat menghasilkan ketenangan, hal positif,kreatif, bermufakat, atau agresif.

          Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antarapelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luardan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan interprestasi. Bagi pihak luar (diluar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga,yang diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.

2.             Pengertian Pendekatan Manajemen Konflik  dalam Performasi Kerja

Pendekatan manajemen konflik bisa diartikan sebagai pelaksanaan pendekatan manajemen konflik dalam menyikapi berbagai masalah yang timbul di kalangan anak asuh. Hal ini dimaksudkan agar setiap anak dapat berfikir cerdas tentang aspek positif dan negatif dari setiap tingkah laku mereka. Tidak hanya itu, dengan adanya pendekatan manajemen konflik,diharapkan setiap anak bisa lebih mudah berinteraksi antar sesama teman,sehingga tidak ada lagi perpecahan dan kelompok-kelompok kecil di antara mereka.
Dengan demikian  Pendekatan manajemen konflik dalam Performansi kerja bisa diartikan sebagai fungsi perkalian usaha (Effort) atau motivasi dengan kemampuan (ability) mencerminkan kesanggupan seseorang untuk melaksanakan tugas sedangkan motivasi mencerminkan bagimana seseorang dengan penuh semangat menerapkan kemampuan itu. Performansi kerja identik dengan hasil kerja, sumber daya organisasi manusia memiliki potensi kerja yang bepengaruh pada organisasi. Karena itu, performansi kerja setiap individu dan kelompok akan menentukan peringakat ketentuan organsisai.

3.             Tujuan Pendekatan Manajemen Konflik

Manajemen konflik adalah cara yang dilakukan oleh pimpinan pada saat menanggapi konflik (Hardjaka, 1994), tujuan manajemen konflik untuk mencapai kinerja yang optimal dengan cara memelihara konflik tetap fungsional dan meminimalkan akibat konflik yang merugikan.
Menurut Handoko (1992) terdapat 3 cara dalam menghadapi konflik:
1)        Stimulasi konflik
2)        Pengurangan/penekanan konflik
3)        Penyelesaian konflik


Mencegah terjadinya konflik:
1)        Tujuan organisasi lebih penting dari pada tujuan kelompok
2)        Struktur tugas yang stabil dan dapat diramalkan
3)        Meningkatkan dan mengembangkan komunikasi
4)        Menghindari situasi menang-kalah yang dapat mengorbankan pihak lain
Stimulasi konflik dilakukan dengan cara:
1)        Meningkatkan kompetensi dan peluang konflik
2)        Menumbuhkan ketidakpastian antar kelompok
3)        Memperbaharui sistem penggajian
Winardi (1994) berpendapat bahwa manajemen konflik meliputi kegiatan-kegiatan:
1)        Menstiulasi konflik
2)        Mengurangi/menekankan konflik
3)        Menyelesaikan konflik
Pendekatan-pendekatan yang umum dilakukan terhadap manajemen konflik adalah:
1)        Menetapkan peraturan-peraturan
2)        Mengubah peraturan arus kerja
3)        Mengubah sistem ganjaran
4)        Membentuk unit khusus
5)        Memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang mempunyai tujuan
6)        Melatih pejabat-pejabat kunci untuk mendalami teknik-teknik manajemen konflik.

2.2         Proses Terjadinya Konflik Dalam Performasi Kerja

Konflik tidak terjadi secara seketika, melainkan melalui tahapan-tahapan tertentu.  Robbins (2003) menjelaskan konflik terjadi melalui lima tahap, yaitu tahap oposisi atau ketidakcocokan potensial, tahap kognisi dan personalisasi, tahap maksud, tahap perilaku, dan tahap hasil.
Tahap I: Oposisi atau Ketidakcocokan Potensial
Langkah pertama dalam proses komunikasi adalah adanya kondisi yang menciptakan kesempatan untuk munculnya konflik itu. Kondisi itu tidak perlu langsung mengarah ke konflik, tetapi salah satu kondisi itu perlu jika konflik itu harus muncul. Demi sederhananya, kondisi ini (yang juga dapat dipandang sebagai kasus atau sumber konflik) telah dimampatkan ke dalam tiga kategori umum: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.
Tahap II: Kognisi dan Personalisasi
Jika kondisi-kondisi yang disebut dalam Tahap I mempengaruhi secara negatif sesuatu yang diperhatikan oleh satu pihak, maka potensi untuk oposisi atau ketidakcocokan menjadi teraktualkan dalam tahap kedua. Kondisi anteseden hanya dapat mendorong ke konflik bila satu pihak atau lebih dipengaruhi oleh, dan sadar akan adanya, konflik itu. Tahap II penting karena di situlah persoalan konflik cenderung didefinisikan.
Tahap III: Maksud
          Maksud berada di antara persepsi serta emosi orang dan perilaku terang-terangan mereka. Maksud merupakan keputusan untuk bertindak dalam suatu cara tertentu. Dapat diidentifikasikan lima maksud penanganan-konflik: bersaing (tegas dan tidak kooperatif), berkolaborasi (tegas dan kooperatif), menghindari (tidak tegas dan tidak kooperatif), mengakomodasi (kooperatif dan tidak tegas), dan berkompromi (tengah-tengah dalam hal ketegasan dan kekooperatifan)
Tahap IV: Perilaku
          Perilaku konflik ini biasanya secara terang-terangan berupaya untuk melaksanakan maksud-maksud setiap pihak. Tetapi perilaku-perilaku ini mempunyai suatu kualitas rangsangan yang terpisah dari maksud. Sebagai hasil perhitungan atau tindakan yang tidak terampil, kadangkala perilaku terang-terangan menyimpang dari maksud-maksud yang orsinil.
Tahap V: Hasil
Jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak yang berkonflik menghasilkan konsekuensi. Hasil ini dapat fungsional, dalam arti konflik itu menghasilkan suatu perbaikan kinerja kelompok, atau disfungsional dalam arti merintangi kinerja kelompok.

2.3         Sumber-sumber Konflik

Konflik dalam organisasi tidak terjadi secara alamiah dan terjadi bukan tanpa sumber penyebab. Penyebab terjadinya konflik pada setiap organisasi sangat bervariasi tergantung pada cara individu-individu menafsirkan, mempersepsi, dan memberikan tanggapan terhadap lingkungan kerjanya. Sumber-sumber konflik organisasi menurut pandangan Feldman, D.C. dan Arnold, H.J. (1983: 513) menyatakan bahwa, konflik pada umumnya disebabkan kurangnya koordinasi kerja antar kelompok/departemen, dan lemahnya sistem kontrol organisasi.
Permasalahan koordinasi kerja antar kelompok berkenaan dengan saling ketergantungan pekerjaan, keraguan dalam menjalankan tugas karena tidak terstruktur dalam rincian tugas, perbedaan orientasi tugas. Sedangkan kelemahan sistem kontrol organisasi yaitu, kelemahan manajemen dalam merealisasikan sistem penilaian kinerja, kurang koordinasi antar unit atau bagian, aturan main tidak dapat berjalan secara baik, terjadi persaingan yang tidak sehat dalam memperoleh penghargaan. Tosi, H.L. Rizzo, J.R. dan Carrol, S.J. (1990:523) mengelompokkan sumber-sumber konflik menjadi tiga yaitu,
1)        Individual characteristic,
2)        Situational conditions,
3)        Organizations structure.
Karakteristik individu meliputi perbedaan individu dalam hal nilai-nilai, sikap, keyakinan, kebutuhan dan kepribadian, persepsi ataupun pendapat. Situasi kerja terdiri dari; saling ketergantungan untuk menjalin kerjasama, perbedaan pendapat antar departemen, perbedaan status, kegagalan komunikasi, kekaburan bidang tugas.
Sumber terjadinya konflik dalam organisasi, termasuk organisasi sekolah menurut (Smith, Mazzarella, dan Piele, 1981) antara lain :
1)        Masalah komunikasi. Konflik terjadi karena salah komunikasi atau distorsi. Salah komunikasi bisa terjadi pada masing – masing atau gabungan unsur komunikasi. Unsur komunikasi terdiri atas tiga sumber, yaitu :pesan, saluran, dan penerima.
2)        Struktur organisasi. Struktur organisasi yang secara potensial yang dapat memunculkan konflik, karena masing-masing unit organisasi memiliki tugas dan kepentingan yang saling bisa bergesekan dan berbenturan.
3)        Faktor manusia. Yaitu karena sifat-sifat kepribadian yang beragam dan unik dapat memunculkan konflik. Setiap pribadi dapat saja memiliki kepentingan dan kebutuhan yang berbeda-beda, begitu juga sikap otoriter, dogmatis, mau menang sendiri, individualistis dan sebagainya dapat menjadi sumber konflik..



2.4         Bentuk-bentuk Konflik

Konflik yang terjadi dalam suatu organisasi dapat dibedakan menjadi beberapa macam, salah satunya dari segi pihak yang terlibat dalam konflik. Dari segi ini konflik dapat dibedakan sebagai berikut, yaitu :
1.             Konflik Intrapersonal
           Konflik intrapersonal adalah konflik seseorang dengan dirinya sendiri. Konflik terjadi bila pada waktu yang sama seseorang memiliki dua keinginan yang tidak mungkin dipenuhi sekaligus. Ada tiga macam bentuk konflik intrapersonal yaitu :
1)        Konflik pendekatan-pendekatan, contohnya orang yang dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama menarik.
2)        Konflik pendekatan-penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada dua pilihan yang sama menyulitkan.
3)        Konflik penghindaran-penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada satu hal yang mempunyai nilai positif dan negatif sekaligus.
2.             Konflik Interpersonal
Konflik Interpersonal adalah pertentangan antar seseorang dengan orang lain karena pertentengan kepentingan atau keinginan. Hal ini sering terjadi antara dua orang yang berbeda status, jabatan, bidang kerja dan lain-lain. Konflik interpersonal ini merupakan suatu dinamika yang amat penting dalam perilaku organisasi. Karena konflik semacam ini akan melibatkan beberapa peranan dari beberapa anggota organisasi yang tidak bisa tidak akan mempngaruhi proses pencapaian tujuan organisasi tersebut.
3.             Konflik individu dengan individu
Konflik semacam ini dapat terjadi antara individu pimpinan dengan individu pimpinan dari berbagai tingkatan. Individu pimpinan dengan individu karyawan maupun antara individu karyawan dengan individu karyawan lainnya.
4.             Konflik individu dengan kelompok
Konflik semacam ini dapat terjadi antara individu pimpinan dengan kelompok ataupun antara individu karyawan dengan kelompok pimpinan.



5.             Konflik kelompok dengan kelompok
Ini bisa terjadi antara kelompok pimpinan dengan kelompok karyawan, kelompok pimpinan dengan kelompok pimpinan yang lain dalam berbagai tingkatan maupun antara kelompok karyawan dengan kelompok karyawan yang lain.
Beberapa kejadian konflik telah diidentifikasi menurut jenis dan macamnya oleh sebagian penulis buku manajemen, perilaku organisasi, psikolog maupun sosiologi.
Tabel  1. Berbagai Pandangan Mengenai Bentuk Konflik
No.
Penggagas
Bentuk Konflik
1
Soekanto, S. (1981),
  1. Konflik pribadi
  2. Konflik rasial
  3. Konflik antar kelas-kelas sosial
  4. Konflik politik antar golongan-golongan dalam masyarakat
  5. Konflik berskala internasional antar negara
2
Polak, M. (1982)
  1. Konflik antar kelompok
  2. Konflik intern dalam kelompok
  3. Konflik antar individu untuk mempertahankan hak dan kekayaan
  4. Konflik intern individu untuk mencapai cita-cita
3
Champbell, Corbally, dan Nystrand (1983)
  1. Intrapersonal conflict
  2. Interpersonal conflict
  3. Individual institusional conflict
  4. Intraorganizational conflict
  5. School community conflict
4
Walton (1987)
  1. Conflict between members of a family
  2. Conflict confined to two individuals in an organization
  3. Conflict between organizational units
  4. Conflict between institutions/organizations
5
Owens (1991), Winardi (2004), Davis and Newstron (1981)
  1. Intrapersonal conflict
  2. Interpersonal conflict
  3. Intra group conflict
  4. Intergroup conflict
  5. Inter organization conflict.
6
Wexley, et al. (1992)
  1. Konflik antar individu dalam satu kelompok
  2. Konflik bawahan dengan pimpinan
  3. Konflik anta dua departemen atau lebih
  4. Konflik antar personalia staf dan lini
  5. Konflik antar serikat buruh dengan pimpinan (manajer)
7
Handoko, T.H. (1992)
  1. Konflik dalam diri individu
  2. Konflik antar individu dalam organisasi
  3. Konflik antar individu dengan kelompok
  4. Konflik antar kelompok
  5. Konflik antar organisasi
8
Ruchyat (2001)
  1. Konflik intrapersonal
  2. Konflik interpersonal
  3. Konflik intra grup
  4. Konflik inter grup
  5. Konflik intra organisasi
  6. Konflik inter organisasi







Berdasarkan tabel di atas, pada hakekatnya konflik terdiri atas lima bentuk, yaitu:
1.             Konflik dalam diri individu
Konflik ini merupakan konflik internal yang terjadi pada diri seseorang. (intrapersonal conflict). Konflik ini akan terjadi ketika individu harus memilih dua atau lebih tujuan yang saling bertentangan, dan bimbang mana yang harus dipilih untuk dilakukan. 
Handoko (1995:349) mengemukakan konflik dalam diri individu, terjadi bila seorang individu menghadapi ketidakpastian tentang pekerjaan yang dia harapkan untuk melaksanakannya, bila berbagai permintaan pekerjaan saling bertentangan, atau bila individu diharapkan untuk melakukan lebih dari kemampuannya.
Menurut Winardi (2004:169),  terdapat tiga tipe konflik pada tingkat individu, yaitu:
1)   Konflik Mendekat-mendekat (Approach-approach Conflict).
Konflik demikian meliputi suatu situasi di mana seseorang harus memilih antara dua macam alternatif positif dan yang sama-sama memiliki daya tarik yang sama. Contoh: apabila individu  harus memilih antara tindakan menerima sebuah promosi yang sangat dihargai di dalam organisasi yang bersangkutan dan menerima pekerjaan baru yang menarik yang ditawarkan oleh perusahaan lain.
2)   Konflik Menghindari-menghindari (Avoidance-avoidance Conflict).
Situasi yang mengharuskan seseorang memilih antara dua macam alternatif negatif yang sama tidak memiliki daya tarik sama sekali. Contoh: apabila kita menghadapi pilihan transfer pekerjaan ke kota lain yang berada pada lokasi yang tidak menyenangkan atau di PHK oleh organisasi di mana kita bekerja.
3)        Konflik Pendekatan-menghindari (Approach-avoidance Conflict).
Konflik ini meliputi sebuah situasi di mana seseorang harus mengambil keputusan sehubungan dengan sebuah alternatif yang memiliki konsekuensi positif maupun negatif yang berkaitan dengannya. Contoh: apabila seseorang diberi tawaran promosi yang menjanjikan gaji lebih besar, tetapi yang juga sekaligus mengandung tanggung jawab yang makin meningkat dan yang tidak disukai.



2.             Konflik antar individu
Konflik antar individu (interpersonal conflict) bersifat substantif, emosional atau kedua-duanya. Konflik ini terjadi ketika adanya perbedaan tentang isu tertentu, tindakan dan tujuan di mana hasil bersama sangat menentukan.
3.             Konflik  antar anggota dalam satu kelompok
Setiap kelompok dapat mengalami konflik substantif atau efektif. Konflik subtantif terjadi karena adanya latar belakang keahlian yang berbeda, ketika anggota dari suatu komite menghasilkan kesimpulan yang berbeda atas data yang sama. Sedangkan konflik efektif  terjadi karena tanggapan emosional terhadap suatu situasi tertentu.
4.             Konflik antar kelompok
Konflik intergroup terjadi karena adanya saling ketergantungan, perbedaan persepsi, perbedaan tujuan, dan meningkatnya tuntutan akan keahlian.
5.             Konflik antar bagian dalam organisasi
Tentu saja yang mengalami konflik adalah orang, tetapi dalam hal ini orang tersebut “mewakili” unit kerja tertentu. Menurut Mulyasa (2004:244) konflik ini terdiri atas
1)        Konflik vertikal. Terjadi antara pimpinan dengan bawahan yang tidak sependapat tentang cara terbaik untuk menyelesaikan sesuatu. Misalnya konflik antara kepala sekolah dengan guru.
2)        Konflik horizontal. Terjadi antar pegawai atau departemen yang memiliki hierarki yang sama dalam organisasi. Misalnya konflik antar tenaga kependidikan.
3)        Konflik lini-staf. Sering terjadi karena adanya perbedaan persepsi tentang keterlibatan staf dalam proses pengambilan keputusan oleh manajer lini. Misalnya konflik antara kepala sekolah dengan tenaga administrasi.
4)        Konflik peran. Terjadi karena seseorang memiliki lebih dari satu peran. Misalnya kepala sekolah merangkap jabatan sebagai ketua dewan pendidikan.


6.             Konflik antar organisasi
Konflik antar organisasi terjadi karena mereka memiliki saling ketergantungan pada tindakan suatu organisasi yang menyebabkan dampak negatif terhadap organisasi lain. Misalnya konflik yang terjadi antara sekolah dengan salah satu organisasi masyarakat.

2.5         Mengatasi dan Mengelola Konflik dalam Organisasi

Konflik antar individu atau antar kelompok dapat menguntungkan atau merugikan bagi kelangsungan organisasi. Oleh karena itu, pimpinan organisasi dituntut memiliki kemampuan manajemen konflik dan memanfaatkan konflik untuk meningkatkan kinerja organisasi. Criblin (1982:219) mengemukakan manajemen konflik merupakan teknik yang dilakukan pimpinan organisasi untuk mengatur konflik dengan cara menentukan peraturan dasar dalam bersaing.
Tosi, et al. (1990) berpendapat bahwa, “Conflict management mean that a manager takes an active role in addressing conflict situations and intervenes if needed. Manajemen konflik dalam organisasi menjadi tanggung jawab pimpinan (manajer) baik manajer tingkat lini (supervisor), manajer tingkat menengah (middle manager), dan manajer tingkat atas (top manager), maka diperlukan peran aktif untuk mengarahkan situasi konflik agar tetap produktif.
Manajemen konflik yang efektif dapat mencapai tingkat konflik yang optimal yaitu, menumbuhkan kreativitas anggota, menciptakan inovasi, mendorong perubahan, dan bersikap kritis terhadap perkembangan lingkungan.
Tujuan manajemen konflik adalah untuk mencapai kinerja yang optimal dengan cara memelihara konflik tetap fungsional dan meminimalkan akibat konflik yang merugikan (Walton, R.E. 1987:79). Mengingat kegagalan dalam mengelola konflik dapat menghambat pencapaian tujuan organisasi, maka pemilihan terhadap teknik pengendalian konflik menjadi perhatian pimpinan organisasi.





Sepanjang kehidupan  manusia senantiasa dihadapkan dan bergelut dengan konflik baik itu secara individu maupun organisasi. Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Demikian halnya dengan kehidupan organisasi, setiap anggota organisasi senantiasa dihadapkan pada konflik. Agar konflik tidak jadi berlarut-larut maka konflik dapat dicegah atau dikelola dengan :
1.        Disiplin
Mempertahankan disiplin dapat digunakan untuk mengelola dan mencegah konflik. Manajer perawat harus mengetahui dan memahami peraturan-peraturan yang ada dalam organisasi. Jika belum jelas, mereka harus mencari bantuan untuk memahaminya.
2.        Pertimbangan pengalaman dalam tahapan kehidupan konflik dapat dikelola dengan mendukung perawat untuk mencapai tujuan sesuai dengan pengalaman dan tahapan hidupnya. Misalnya, Perawat junior yang berprestasi dapat dipromosikan untuk mengikuti pendidikan kejenjang yang lebih tinggi, sedangkan bagi perawat senior yang berprestasi dapat dipromosikan untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi.
3.        Komunikasi
Suatu Komunikasi yang baik akan menciptakan lingkungan yang terapetik dan kondusif. Suatu upaya yang dapat dilakukan manajer untuk menghindari konflik adalah dengan menerapkan komunikasi yang efektif dalam kegitan sehari-hari yang akhirnya dapat dijadikan sebagai satu cara hidup.
4.        Mendengarkan secara aktif. Mendengarkan secara aktif merupakan hal penting untuk mengelola konflik. Untuk memastikan bahwa penerimaan para manajer perawat telah memiliki pemahaman yang benar, mereka dapat merumuskan kembali permasalahan para pegawai sebagai tanda bahwa mereka telah mendengarkan.
Dalam mengelola konflik tidak bisa begitu saja tapi di perlukan teknik atau keahlian untuk mengelola konflik seperti pendekatan dalam resolusi konflik tergantung pada:
1)        Konflik itu sendiri
2)        Karakteristik orang-orang yang terlibat di dalamnya
3)        Keahlian individu yang terlibat dalam penyelesaian konflik
4)        Pentingnya isu yang menimbulkan konflik
5)        Ketersediaan waktu dan tenaga

Gibson, (1996) mengatakan, memilih resolusi konflik yang cocok tergantung pada faktor-faktor penyebabnya, dan penerapan manajemen konflik secara tepat dapat meningkatkan kreativitas, dan produktivitas bagi pihak-pihak yang mengalami.
 Menurut Handoko (1992) secara umum, terdapat tiga cara dalam menghadapi konflik yaitu :
1)        stimulasi konflik,
2)        pengurangan atau penekanan konflik, dan
3)        penyelesaian konflik.
Stimulasi konflik diperlukan apabila satuan-satuan kerja di dalam organisasi terlalu lambat dalam melaksanakan pekerjaan karena tingkat konflik rendah. Situasi konflik terlalu rendah akan menyebabkan para karyawan takut berinisiatif akhirnya menjadi pasif. Perilaku dan peluang yang dapat mengarahkan individu atau kelompok untuk bekerja lebih baik diabaikan, anggota kelompok saling bertoleransi terhadap kelemahan dan kejelekan pelaksanaan pekerjaan.
Pimpinan (manajer) organisasi perlu merangsang timbulnya persaingan dan konflik yang dapat mempunyai dampak peningkatan kinerja anggota organisasi. Pengurangan atau penekanan konflik, manajer yang mempunyai pandangan tradisional berusaha menekan konflik sekecil-kecilnya dan bahkan berusaha meniadakan konflik daripada menstimuli konflik. Strategi pengurangan konflik berusaha meminimalkan kejadian konflik tetapi tidak menyentuh masalah-masalah yang menimbulkan konflik. Penyelesaian konflik berkenaan dengan kegiatan-kegiatan pimpinan organisasi yang dapat mempengaruhi secara langsung pihak-pihak yang bertentangan.
Demikian halnya, Winardi (2004) berpendapat bahwa, manajemen konflik meliputi kegiatan-kegiatan;
1)        Menstimulasi konflik,
2)        Mengurangi atau menekan konflik, dan
3)        Menyelesaikan konflik.




Stimulasi konflik diperlukan pada saat unit-unit kerja mengalami penurunan produktivitas atau terdapat kelompok-kelompok yang belum memenuhi standar kerja yang ditetapkan. Metode yang dilakukan dalam menstimulasi konflik yaitu;
1)        Memasukkan anggota yang memiliki sikap, perilaku serta pandangan yang berbeda dengan norma-norma yang berlaku,
2)        Merestrukturisasi organisasi terutama rotasi jabatan dan pembagian tugas-tugas baru,
3)        Menyampaikan informasi yang bertentangan dengan kebiasaan yang dialami,
4)        Meningkatkan persaingan dengan cara menawarkan insentif, promosi jabatan ataupun penghargaan lainnya,
5)        Memilih pimpinan baru yang lebih demokratis.
Tindakan mengurangi konflik dilakukan apabila tingkat konflik tinggi dan menjurus pada tindakan destruktif disertai penurunan produktivitas kerja di tiap unit/bagian. Metode pengurangan konflik dengan jalan mensubstitusi tujuan-tujuan yang dapat diterima oleh kelompok-kelompok yang sedang konflik, menghadapkan tantangan baru kepada kedua belah pihak agar dihadapi secara bersama, dan memberikan tugas yang harus dikerjakan bersama sehingga timbul sikap persahabatan antara anggota-anggota kelompok.
Penyelesaian konflik (conflict resolution) merupakan tindakan yang dilakukan pimpinan organisasi dalam menghadapi pihak-pihak yang sedang konflik. Metode penyelesaian konflik yang paling banyak digunakan menurut Winardi (2004) adalah dominasi, kompromis, dan pemecahan problem secara integratif.
Menurut  (Winardi, 1994 : 84- 89ada tiga macam tipe metode penyelesaian konflik secara integrative yaitu metode :
1)        Consensus (concencus)
2)        Konfrontasi (Confrontation)
3)        Penggunaan tujuan-tujuan superordinat (Superordinate goals)
4)        Kompetisi


Untuk menangani konflik dengan efektif, kita harus mengetahui kemampuan diri sendiri dan juga pihak-pihak yang mempunyai konflik. Ada beberapa cara untuk menangani konflik antara lain :
1)        Introspeksi diri
2)        Mengevaluasi pihak-pihak yang terlibat.
Sangat penting bagi kita untuk mengetahui pihak-pihak yang terlibat. Kita dapat mengidentifikasi kepentingan apa saja yang mereka miliki, bagaimana nilai dan sikap mereka atas konflik tersebut dan apa perasaan mereka atas terjadinya konflik. Kesempatan kita untuk sukses dalam menangani konflik semakin besar jika kita meliha konflik yang terjadi dari semua sudut pandang.
3)        Identifikasi sumber konflik
Seperti dituliskan di atas, konflik tidak muncul begitu saja. Sumber konflik sebaiknya dapat teridentifikasi sehingga sasaran penanganannya lebih terarah kepada sebab konflik.
4)        Mengetahui pilihan penyelesaian atau penanganan konflik yang ada dan memilih yang tepat.
Penyelesaian konflik yang menggambarkan satu pihak mengalahkan atau mengorbankan yang lain. Penyelesaian bentuk kompetisi dikenal dengan istilah win-lose orientation.
Win-Lose Orientation terdiri dari lima orientasi sebagai berikut:
1)        Win-Lose (Menang – Kalah)
Paradigma ini mengatakan jika “saya menang, anda kalah “. Dalam gaya ini seseorang cenderung menggunakan kekuasaan, jabatan, mandat, barang milik, atau kepribadian untuk mendapatkan apa yang diinginkan dengan mengorbankan orang lain. Dengan paradigma ini seseorang akan merasa berarti jika ia bisa menang dan orang lain kalah. Ia akan merasa terancam dan iri jika orang lain menang sebab ia berpikir jika orang lain menang pasti dirinya kalah. Jika menang pun sebenarnya ia diliputi rasa bersalah karena ia menganggap kemenangannya pasti mengorbankan orang lain.



 Pihak yang kalah pun akan menyimpan rasa kecewa, sakit hati, dan merasa diabaikan. Sikap Menang-Kalah dapat muncul dalam bentuk:
a      Menggunakan orang lain, baik secara emosional atau pun fisik, untuk kepentingan diri.
b      Mencoba untuk berada di atas orang lain.
c       Menjelek-jelekkan orang lain supaya diri sendiri nampak baik.
d      Selalu mencoba memaksakan kehendak tanpa memperhatikan perasaan orang lain.
e      Iri dan dengki ketika orang lain berhasil

2)        Lose-Win (Kalah – Menang)
Dalam gaya ini seseorang tidak mempunyai tuntutan, visi, dan harapan. Ia cenderung cepat menyenangkan atau memenuhi tuntutan orang lain. Mereka mencari kekuatan dari popularitas atau penerimaan. Karena paradigma ini lebih mementingkan popularitas dan penerimaan maka menang bukanlah yang utama. Akibatnya banyak perasaan yang terpendam dan tidak terungkapkan sehingga akan menyebabkan penyakit psikosomatik seperti sesak napas, saraf, gangguan sistem peredaran darah yang merupakan perwujudan dari kekecewaan dan kemarahan yang mendalam.
3)        Lose-Lose (Kalah – Kalah) 
Biasanya terjadi jika orang yang bertemu sama-sama punya paradigma Menang-Kalah. Karena keduanya tidak bisa bernegosiasi secara sehat, maka mereka berprinsip jika tidak ada yang menang , lebih baik semuanya kalah. Mereka berpusat pada musuh, yang ada hanya perasaan dendam tanpa menyadari jika orang lain kalah dan dirinya kalah sama saja dengan bunuh diri.
4)         Win (Menang)
Orang bermentalitas menang tidak harus menginginkan orang lain kalah. Yang penting adalah mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Orang bermentalitas menang menjadi egois dan akan mencapai tujuannya sendiri. Jika hal ini menjadi pola hidupnya maka ia tidak akan bisa akrab dengan orang lain, merasa kesepian, dan sulit kerja sama dalam tim.


5)                 Win-Win (Menang-Menang)
Menang-Menang adalah kerangka pikiran dan hati yang terus menerus mencari keuntungan bersama dalam semua interaksi. Menang-Menang berarti mengusahakan semua pihak merasa senang dan puas dengan pemecahan masalah atau keputusan yang diambil. Paradigma ini memandang kehidupan sebagai arena kerja sama bukan persaingan. Paradigma ini akan menimbulkan kepuasan pada kedua belah pihak dan akan meningkatkan kerja sama kreatif.
Spiegel (1994) menjelaskan ada lima tindakan yang dapat kita lakukan dalam penanganan konflik :
a)        Berkompetisi. Tindakan ini dilakukan jika kita mencoba memaksakan kepentingan sendiri di atas kepentingan pihak lain. Pilihan tindakan ini bisa sukses dilakukan jika situasi saat itu membutuhkan keputusan yang cepat, kepentingan salah satu
pihak lebih utama dan pilihan kita sangat vital. Hanya perlu diperhatikan situasi menang – kalah (win-win solution) akan terjadi disini. Pihak yang kalah akan merasa dirugikan dan dapat menjadi konflik yang berkepanjangan. Tindakan ini bisa dilakukan dalam hubungan atasan – bawahan, dimana atasan menempatkan kepentingannya (kepentingan organisasi) di atas kepentingan bawahan.
b)        Menghindari konflik. Tindakan ini dilakukan jika salah satu pihak menghindari dari situsasi tersebut secara fisik ataupun psikologis. Sifat tindakan ini hanyalah menunda konflik yang terjadi. Situasi menag kalah terjadi lagi disini. Menghindari konflik bisa dilakukan jika masing-masing pihak mencoba untuk mendinginkan suasana, mebekukan konflik untuk sementara. Dampak kurang baik bisa terjadi jika pada saat yang kurang tepat konflik meletus kembali, ditambah lagi jika salah satu pihak menjadi stres karena merasa masih memiliki hutang menyelesaikan persoalan tersebut.
c)        Akomodasi. Yaitu jika kita mengalah dan mengorbankan beberapa kepentingan sendiri agar pihak lain mendapat keuntungan dari situasi konflik itu. Disebut juga sebagai self sacrifying behaviour. Hal ini dilakukan jika kita merasa bahwa kepentingan pihak lain lebih utama atau kita ingin tetap menjaga hubungan baik dengan pihak tersebut. Pertimbangan antara kepentingan pribadi dan hubungan baik menjadi hal yang utama di sini.

d)        Dominasi dan Penekanan dominasi atau kekerasan yang bersifat penekanan otokratik. Ketaatan harus dilakukan oleh fihak yang kalah pada otoritas yang lebih tinggi atau kekuatan yang lebih besar. meredakan atau menenangkan, metode ini lebih terasa diplomatis dlm upaya menekan dan meminimalkan ketidaksepahaman.
e)        Kompromi pemisahan, pihak-pihak yang berkonflik dipisah sampai menemukan solusi atas masalah yang terjadi. arbitrasi, adanya peran orang ketiga sebagai penengah untuk penyelesaian masalah. Kembali ke aturan yang berlaku saat tidak ditemukan titik temu antara kedua fihak yang bermasalah. Tindakan ini dapat dilakukan jika ke dua belah pihak merasa bahwa kedua hal tersebut sama –sama penting dan hubungan baik menjadi yang uatama. Masing-masing pihak akan mengorbankan sebagian kepentingannya untuk mendapatkan situasi menang-menang (win-win solution)
f)         Pemecahan Masalah Integratif konsensus, sengaja dipertemukan untuk mencapai solusi terbaik, bukan hanya menyelesaikan masalah dengan cepat. konfrontasi, tiap fihak mengemukakan pandangan masing-masing secara langsung & terbuka. penentu tujuan, menentukan tujuan akhir kedepan yang lebih tinggi dengan kesepakatan bersama.
g)        Berkolaborasi. Menciptakan situasi menang-menag dengan saling bekerja sama.
Pilihan tindakan ada pada diri kita sendiri dengan konsekuensi dari masing-masing tindakan. Jika terjadi konflik pada lingkungan kerja, kepentingan dan hubungan antar pribadi menjadai hal yang harus kita pertimbangkan.

2.6         Dampak Konflik terhadap Kinerja Organisasi

Suatu konflik merupakan hal wajar dalam suatu organisasi. Tjutju Yuniarsih, dkk. (1998:115), mengemukakan bahwa konflik tidak dapat dihindari dalam organisasi, akan tetapi konflik antar kelompok sekaligus dapat menjadi kekuatan positif dan negatif, sehingga manajemen seyogyanya tidak perlu menghilangkan semua konflik, tetapi hanya pada konflik yang menimbulkan dampak gangguan atas usaha organisasi mencapai tujuan. Beberapa jenis atau tingkatan konflik mungkin terbukti bermanfaat jika digunakan sebagai sarana untuk perubahan atau inovasi.


Dengan demikian konflik bukanlah sesuatu yang harus ditakutkan, tetapi merupakan sesuatu hal yang perlu untuk dikelola agar dapat memberikan kontribusinya bagi pencapaian tujuan organisasi. Phillip L. Hunsaker (2001:481) mengemukakan bahwa: Conflict are not negative; they are a natural feature of every organization and can never be completely eliminated. However, they can be managed to avoid hostility, lack of cooperation, and failure to meet goals. When channeled properly, conflicts can lead to creativity, innovative solving, and positive change (Konflik itu bukan sesuatu yang negatif, tetapi hal itu secara alami akan tetap ada dalam setiap organisasi.
Bagaimanapun konflik itu bila dikelola dengan baik maka konflik dapat mendukung percepatan pencapaian tujuan organisasi. Ketika konflik dikelola secara baik, dapat menumbuhkan kreativitas, inovasi dalam pemecahan masalah dan menumbuhkan perubahan positif bagi pengembangan organisasi).
Sejalan dengan pendapat di atas, Richard J. Bodine (1998:35) mengemukakan bahwa:  conflict is a natural, vital part of life. When conflict is understood, it can become an opportunity to learn and create. The synergy of conflict can create new alternative ‑ something that was not possible before. The challenge for people in conflict is to apply the principles of creative cooperation in their human relationship. . . . without conflict, there would likely e no personal growth or social change (Konflik itu terjadi secara alami dan bagian vital dalam kehidupan.
Ketika konflik dapat dipahami secara wajar, ia dapat menjadi peluang dan kreativitas dalam pembelajaran/pendidikan. Konflik secara sinergis dapat menumbuhkan kreativitas baru, kadang‑kadang tidak dapat diduga sebelumnya. Tanpa konflik tidak akan terjadi perubahan bagi pengembangan pribadi maupun perubahan masyarakat).
Mengingat bahwa konflik tidak dapat dihindari, maka pendekatan yang baik untuk diterapkan para manajer adalah pendekatan yang mencoba memanfaatkan konflik sedemikian rupa sehingga konflik dapat memberikan sumbangan yang efektif untuk mencapai sasaran‑sasaran yang diinginkan. Konflik sesungguhnya dapat menjadi energi yang kuat jika dikelola dengan baik, sehingga dapat dijadikan alat inovasi.
Akan tetapi sebaliknya jika tidak dapat dikendalikan mengakibatkan kinerja organisasi rendah. Hal senada juga diungkapkan oleh Depdikbud (1983) yang dikutip oleh D. Deni Koswara (1994: 2), bahwa selain mempunyai nilai positif, konflik juga mempunyai kelemahan, yaitu :
1.        Konflik dapat menyebabkan timbulnya perasaan “tidak enak” sehingga menghambat komunikasi.
2.        Konflik dapat membawa organisasi ke arah disintegrasi.
3.        Konflik menyebabkan ketegangan antara individu atau kelompok.
4.        Konflik dapat menghalangi kerjasama di antara individu mengganggu saluran komunikasi.
5.        Konflik dapat memindahkan perhatian anggota organisasi tujuan organisasi.
Untuk itu pendekatan konflik sebagai bagian normal dari perilaku dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk mempromosikan dan mencapai perubahan‑perubahan yang dikehendaki sehingga tujuan organisasi dapat dicapai secara efektif dan efisien.
Berkaitan dengan hal ini Robbins (2003:162) mengemukakan bahwa konflik dapat konstruktif maupun destruktif terhadap berfungsinya suatu kelompok atau unit. Seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Tingkat konflik dapat atau terlalu tinggi atau terlalu rendah. Ekstrim manapun merintangi kinerja. Suatu tingkat yang optimal adalah kalau ada cukup konflik untuk mencegah kemacetan, merangsang kreativitas, memungkinkan lepasnya ketegangan, dan memprakarsai benih-benih untuk perubahan, namun tidak terlalu banyak, sehingga tidak menggangu atau mencegah koordinasi kegiatan.

Tingkat konflik yang tidak memadai atau berlebihan dapat merintangi keefektifan dari suatu kelompok atau organisasi, dengan mengakibatkan berkurangnya kepuasan dari anggota, meningkatnya kemangkiran dan tingkat keluarnya karyawan, dan pada akhirnya akan menurunkan produktivitas.
Tetapi bila konflik itu berada pada tingkat yang optimal, puas-diri dan apatis seharusnya diminimalkan, motivasi ditingkatkan lewat penciptaan lingkungan yang menantang dan mempertanyakan dengan suatu vitalitas yang membuat kerja menarik, dan sebaiknya ada sejumlah karyawan yang keluar untuk melepaskan yang tidak cocok dan yang berprestasi buruk dari organisasi itu.







A.           Kesimpulan

Konflik dalam organisasi bisa terjadi dalam diri individu pegawai, antar individu, dalam kelompok, antar kelompok dan antar organisasi, baik secara vertikal maupun horizontal sebagai akibat adanya perbedaan karakteristik individu, masalah komunikasi dan struktur organisasi. Konflik dapat bersifat fungsional dan disfungsional. Kemampuan manajemen konflik dari seorang manajer dituntut untuk mengoptimalkan semua konflik menjadi fungsional. Kegagalan dalam manajemen konflik mengakibatkan efektivitas organisasi dipertaruhkan.
Jadi Dengan demikian Pedekatan manajemen konflik dalam performasi kerja akan dapat mengatasi segala kendala yang terjadi dalam setiap organisasi yang mengalami segala pertikaian konflik dalam segala aspek organisasi.

B.            Saran

Demikian makalah yang dapat saya susun dan saya sangat menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan maka kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan pengembangan sangat saya harapkan. Dan semoga ini dapat menambah pengetahuan kita dan bermanfaat. Amin














DAFTAR PUSTAKA

Kar. DR. Wahyudi, “ Manajemen Konflik Organisasi “ . Quantum Teaching. Jakarta 2006
Www.http/Blogspot.com. Tandeas_william .”Pengaruh konflik kerja terhadap kinerja”, March 18, 2011
Soetopo. Hendyat. “Perilaku Organisasi”. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. 2012


Tidak ada komentar: