MAKALAH
MANAJEMEN PENDIDIKAN BERBASIS
MULTI BUDAYA
PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MULTI BUDAYA SECARA INTEGRASI
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Pendidikan Berbasis Multi Budaya Manajaemen Pendidikan
Islam MPI VI A dengan dosen pengampu Bapak Fadhil Santosa S.Pd.I., M.Pd.I
Desi
puspitasari (1510631120020)
Ikbal Maaulana (1510631120034)
MANAJEMEN PENDIDIKAN
ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
SINGAPERBANGSA KARAWANG
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita
panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat limpahan rahmat dan nikmat
kesempatan sehingga kita bisa menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Dengan judul yang akan saya bahas pada makalah kali ini mengenai “Pelaksanaan Pembelajaran Multi Budaya Secara Integrasi”.
Atas dukungan
moral dan materi yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka saya
mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1.
Bapak Dr. H. Amirudin, M.Pd.I selaku dekan Fakultas
Agama Islam
2.
Bapak Dr. H. Masykur Mansyur Drs, MM selaku ketua
kaprodi jurusan Manajemen Pendidikan Islam
3.
Bapak Fadil Santosa, S. Pd.I., M. Pd.I selaku dosen pembimbing mata kuliah yang memberikan
saran, ide dalam memberikan masukan kepada saya dalam pembuatan makalah.
Kesempurnaan
hanyalah milik Allah SWT, Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan karena
sebagai manusia biasa saya tidak lepas dari kesalahan, maka dari itu saya mohon
dukungan dari berbagai pihak demi kebaikan kedepannya.
Demikianlah
makalah ini saya buat, atas perhatian dan kesempatannya untuk membaca saya
ucapkan terima kasih.
Karawang, 30 April 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB III PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kurikulum menampakkan aneka kelompok budaya yang berbeda
dalam masyarakat, bahasa, dan dialek dimana para peserta didik lebih baik
berbicara tentang rasa hormat diantara mereka dan menjunjung tinggi nilai-nilai
kerja sama, daripada membicarakan persaingan dan prasangka diantara sejumlah
peserta didik yang berbeda dalam hal ras, etnik, budaya, dan kelompok status
sosialnya.
Pembelajaran multibudaya adalah pembelajaran yang
didasari atas filosofi kebebasan, keadilan, kesederajatan, dan keseimbangan
setiap hak-hak manusia, sekalipun setiap orang memiliki latar belakang budaya
yang berbeda. Hakekat pendidikan Multibudaya
mempersiapkan seluruh peserta didik untuk bekerja secara aktif menuju kesamaan
struktur dalam organisasi dan lembaga sekolah.
Pembelajaran berbasis Multibudaya berusaha
memberdayakan peserta didik untuk mengembangkan rasa hormat kepada orang yang
berbeda budaya, memberi kesempatan untuk bekerja bersama dengan orang atau
kelompok orang yang berbeda etnis atau rasnya secara langsung.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian pendidikan multibudaya ?
2.
Bagaimana model perubahan identitas etnik ?
3.
Bagaimana implementasi filosofi binekha tunggal ika dalam
dunia pendidikan ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian pendidikan multibudaya.
2. Untuk mengetahui model perubahan identitas etnik
3. Untuk mengetahui implementasi filosofi binekha tunggal ika dalam dunia pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hakikat Multi Budaya
Pendidikan multibudaya adalah
kebijakan dalam praktik pendidikan dalam mengakui, menerima, menghargai, dan
menghormati latar belakang bangsa Indonesia yang beranekaragam budayanya.
Pendidikan multibudaya adalah suatu sikap yang memahami adanya perbedaan budaya
bangsa Indonesia sebagai suatu keunikan, dengan tanpa adaya diskriminatif antar
perbedaan-perbedaan tersebut.
Pendidikan Multibudaya merupakan
strategi pendidikan yang memanfaatkan keberagaman latar belakang kebudayaan
dari para peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk membentuk sikap
multikultural. Strategi ini amat bermanfaat bagi pihak sekolah untuk menanamkan
konsep kebudayaan, perbedaan budaya, dan demokrasi dalam arti yang luas.
Dalam konteks yang luas, pendidikan
Multibudaya mencoba membantu menyatukan bangsa secara demokratis, dengan
menekankan pada perspektif pluralitas masyarakat di berbagai bangsa, etnik,
kelompok budaya yang berbeda. Dengan demikian sekolah dikondisikan untuk
mencerminkan praktik dari nilai-nilai demokrasi.
Tujuan
pendidikan dengan berbasis Multibudaya dapat diidentifikasi sebagai berikut:
a)
Untuk
mengfungsikan peranan sekolah dalam memandang keberadaan peserta didik yang
beraneka ragam.
b)
Untuk
membantu peserta didik dalam membangun perlakuan yang positif terhadap
perbedaan cultural, ras, etnik, dan kelompok keagamaan.
c)
Memberikan
ketahanan peserta didik dengan cara mengajar mereka dalam mengambil keputusan
dan keterampilan sosialnya.
d)
Untuk
membantu peserta didik dalam membangun ketergantungan lintas budaya dan memberi
gambaran positif kepada mereka mengenai perbedaan.
2.2 Model-model perubahan Identitas Etnik
Indonesia adalah Negara yang berlatar
belakang budaya yang beranekaragam. Hal ini menunjukan bahwa tidak mustahil
terjadinya Culture Shock, terdapat dua model perubahan identitas etnik,
diantaranya adalah:
1.
Model
Perubahan Identitas Penduduk Sementara
Dalam beberapa penelitian mengonsepkan penduduk
musiman dari beragai prespektif perkembangan. Terdapat dalah satu pertanyaan
mengenai cara penduduk musiman beradaptasi, Lysgaard mengembangkan satu model
penyesuaian antarbudaya yang terdiri atas tiga fase yang mencangkup penyesuaian
awal, kritis, dan penyesuaian yang diperoleh kembali.
Penyesuaian awal adalah fase optimistis dari proses
penyesuaian para penduduk musiman, yang kedua merupakan fase yang menekan
ketika realitas terbentuk dan penduduk musiman diluapi ketidakmampuan mereka,
dan yang ketiga adalah fase penetapan saat penduduk musiman belajar mengatasi
lingkungan baru.
Dari gagasan-gagasan tersebut, Lysgaard mengajukan
model kurva-U sebagai proses penyesuaian penduduk musiman, sekaligus menyatakan
bahwa penduduk musiman melalui fase awal “bulan madu”, lalu mengalami
“kemerosotan” atau fase yang membuat tertekan, dan akhirnya menguasai diri
mereka hingga mencapai satu fase dalam mengelola tugas-tugas mereka diluar
negeri.
Dalam mengembangkan model kurva-U, Gullahorn
mengajukan model kurva-W dengan enam jenjang, yakni fase bulan madu,
permusuhan, penuh humor, merasa seperti di rumah sendiri, guncangan budaya
reentry, dan resosialisasi. Sebagai pengembangan lebih lanjut dari model Gullahorn
ini, dikembangkan model penyesuaian berbentuk W yang merupakan hasil revisi
dengan tujuh jenjang, yaitu jenjang bulan madu, permusuhan, penuh humor,
in-sync, ambivalensi, guncangan budaya, dan resosialisasi.
2.
Model
Perubahan Identitas Imigran dan Minoritas
Akulturasi adalah proses beranekasegi dan
multidimensional yang melibatkan proses perubahan level sistem dan individu.
Para antropologis mengartikan akulturasi sebagai kontak langsung yang
berlangsung terus-menerus antara kelompok-kelompok individu yang memproduksi
perubahan berikutnya dalam pola-pola budaya salah satu atau dua kelompok
tersebut. Transformasi individu ini dapat terjadi dalam masyarakat yang
monokultural atau pluralistis.
Dalam masyarakat monokultural dengan tuntutan akan
konformitas yang tinggi, akulturasi bagi inhabitan jangka panjang secara
tipikal bersifat unidirectional. Dalam masyarakat pluralistis, akulturasi dapat
mengambil banyak bentuk dan arah. Konsep akulturasi melibatkan banyak isu,
seperti batas dalam kelompok/ luar kelompok, tekanan konformitas, perilaku dan
hubungan kelompok minoritas-mayoritas, dan pemeliharaan warisan etnis serta
asimilasi budaya yang lebih besar.
Dari perspektif tipologis minoritas-mayoritas,
penonjolan identitas etnis/kultural dapat dipandang sebagai model empat rangkap
yang menekankan orientasi individu terhadap isu-isu pemeliharaan identitas
etnis dan identitas budaya yang lebih besar.
Menurut Berry, imigran yang cenderung mengedepankan
pemeliharaan tradisi etnis dan merendahkan siginifikansi nilai-nilai dan
norma-norma budaya baru menerapkan opsi yang berorientasi tradisional. Individu
yang mengedepankan pemeliharaan tradisi etnis dan pada saat yang bersamaan
menampakkan gerakan untuk menjadi bagian dari masyarakat yang lebih besar,
menerapkan opsi yang berorientasi bikultural atau integratif.
Individu yang menganggap rendah signifikansi
nilai-nilai dan norma-norma etnis mereka dan cenderung memandang diri mereka
sebagai anggota masyarakat yang lebih besar, menerapkan opsi asimilasi.
Individu yang kehilangan kontak psikologis/etnis dengan kelompok etnis
sekaligus masyarakat yang lebih besar dan mengalami perasaan alienasi dan
kehilangan identitas, mengalami marjinalisasi.
2.3 Langkah-langkah Implementasi Filosofi Bhineka Tunggal Ika dalam dunia pendidikan
Kurikulum, model pembelajaran, dan
suasana sekolah harus diseragamkan dan menghilangkan perbedaan yang ada, hal
ini dilakukan untuk merujuk pendidikan lebih multibudaya. Selain itu peran guru
harus dibuat Multibudaya dan peran keluarga yang sangat penting untuk
pelaksanaan Multibudaya.
Isi, pendekatan, dan evaluasi kurikulum harus
menghargai perbedaan dan tidak diskriminatif. Isi dan bahan ajar di sekolah
perlu dipilih yang sungguh menekankan pengenalan dan penghargaan terhadap
budaya dan nilai lain.
Pertama, misalnya dalam semua bidang pelajaran,
dimasukkan nilai dan tokoh-tokoh dari budaya lain agar siswa mengerti bahwa
dalam tiap budaya, ilmu itu dikembangkan. Contoh-contoh ilmuwan dan hasil
teknologi, perlu diambil dari berbagai budaya dan latar belakang termasuk
jender. Kesamaan dan perbedaan antarbudaya perlu dijelaskan dan dimengerti.
Siswa dibantu untuk kian mengerti nilai budaya lain, menerima dan
menghargainya. Misalnya, dalam mengajarkan makanan, pakaian, cara hidup, bukan
hanya dijelaskan dari budayanya sendiri, tetapi juga yang lain.
Kedua, model pembelajaran dalam kelas pun perlu
diwarnai multikultural, yaitu dengan menggunakan berbagai pendekatan
berbeda-beda. Penyajian bahan, termasuk matematika, dalam memberi contoh, guru
perlu memilih yang beraneka nilai. Buku-buku yang ditulis dalam pelajaran pun
perlu disusun untuk menghargai budaya lain dan penghargaan gender.
Ketiga, suasana sekolah amat penting dalam penanaman
nilai multibudaya. Sekolah harus dibangun dengan suasana yang menunjang penghargaan
budaya lain. Relasi guru, karyawan, siswa yang berbeda budaya diatur dengan
baik, ada saling penghargaan. Anak dari kelompok lain tidak ditolak tetapi
dihargai.
Keempat, dengan menyeragamkan dan menghilangkan
perbedaan yang ada, baik dari segi budaya, agama, nilai, dan lain-lain. Sikap
saling menerima, menghargai nilai, budaya, keyakinan yang berbeda tidak
otomatis akan berkembang sendiri. Apalagi karena dalam diri seseorang ada
kecenderungan untuk mengharapkan orang lain menjadi seperti dirinya.
Kelima, dengan sikap saling menerima dan menghargai
akan cepat berkembang bila dilatihkan dan dididikkan pada generasi muda dalam
sistem pendidikan nasional. Dengan pendidikan, sikap penghargaan terhadap
perbedaan yang direncana baik, generasi muda dilatih dan disadarkan akan
pentingnya penghargaan pada orang lain dan budaya lain bahkan melatihnya dalam
hidup sehingga sewaktu mereka dewasa sudah mempunya sikap itu. Di sini
pemerintah dan tiap sekolah perlu memikirkan model dan bentuk yang sesuai.
Keenam, lewat penanaman semangat multikulturalisme di
sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi
muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara
sesama dan mau untuk hidup bersama secara damai.
Agar proses ini berjalan sesuai harapan, maka
seyogyanya kita mau menerima jika pendidikan Multibudaya disosialisasikan dan
didiseminasikan melalui lembaga pendidikan, serta jika mungkin, ditetapkan
sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga
pendidikan pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara
implisit juga menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003
Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan
diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi
HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
James A. Banks, mengidentifikasi ada lima dimensi
pendidikan Multibudaya yang diperkirakan dapat membantu guru dalam mengimplementasikan
beberapa program yang mampu merespon terhadap perbedaan pelajar (siswa), yaitu:
1.
Dimensi
integrasi isi/materi (content integration).
Dimensi ini digunakan oleh guru untuk memberikan
keterangan dengan ‘poin kunci’ pembelajaran dengan merefleksi materi yang
berbeda-beda. Secara khusus, para guru menggabungkan kandungan materi
pembelajaran ke dalam kurikulum dengan beberapa cara pandang yang beragam.
Salah satu pendekatan umum adalah mengakui
kontribusinya, yaitu guru-guru bekerja ke dalam kurikulum mereka dengan
membatasi fakta tentang semangat kepahlawanan dari berbagai kelompok. Di
samping itu, rancangan pembelajaran dan unit pembelajarannya tidak dirubah.
Dengan beberapa pendekatan, guru menambah beberapa unit atau topik secara
khusus yang berkaitan dengan materi multikultural.
2.
Dimensi
konstruksi pengetahuan (knowledge construction).
Suatu dimensi dimana para guru membantu siswa untuk
memahami beberapa perspektif dan merumuskan kesimpulan yang dipengaruhi oleh
disiplin pengetahuan yang mereka miliki. Dimensi ini juga berhubungan dengan
pemahaman para pelajar terhadap perubahan pengetahuan yang ada pada diri mereka
sendiri;
3.
Dimensi
pengurangan prasangka (prejudice ruduction).
Guru melakukan banyak usaha untuk membantu siswa dalam
mengembangkan perilaku positif tentang perbedaan kelompok. Sebagai contoh,
ketika anak-anak masuk sekolah dengan perilaku negatif dan memiliki
kesalahpahaman terhadap ras atau etnik yang berbeda dan kelompok etnik lainnya,
pendidikan dapat membantu siswa mengembangkan perilaku intergroup yang lebih
positif, penyediaan kondisi yang mapan dan pasti.
Dua kondisi yang dimaksud adalah bahan pembelajaran
yang memiliki citra yang positif tentang perbedaan kelompok dan menggunakan
bahan pembelajaran tersebut secara konsisten dan terus-menerus. Penelitian
menunjukkan bahwa para pelajar yang datang ke sekolah dengan banyak stereotipe,
cenderung berperilaku negatif dan banyak melakukan kesalahpahaman terhadap
kelompok etnik dan ras dari luar kelompoknya.
Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan teksbook
multikultural atau bahan pengajaran lain dan strategi pembelajaran yang
kooperatif dapat membantu para pelajar untuk mengembangkan perilaku dan
persepsi terhadap ras yang lebih positif. Jenis strategi dan bahan dapat
menghasilkan pilihan para pelajar untuk lebih bersahabat dengan ras luar, etnik
dan kelompok budaya lain.
Dimensi pendidikan yang sama/adil (equitable
pedagogy). Dimensi ini memperhatikan cara-cara dalam mengubah fasilitas
pembelajaran sehingga mempermudah pencapaian hasil belajar pada sejumlah siswa
dari berbagai kelompok. Strategi dan aktivitas belajar yang dapat digunakan
sebagai upaya memperlakukan pendidikan secara adil, antara lain dengan bentuk
kerjasama (cooperatve learning), dan bukan dengan cara-cara yang kompetitif
(competition learning).
Dimensi ini juga menyangkut pendidikan yang dirancang
untuk membentuk lingkungan sekolah, menjadi banyak jenis kelompok, termasuk
kelompok etnik, wanita, dan para pelajar dengan kebutuhan khusus yang akan
memberikan pengalaman pendidikan, persamaan hak dan persamaan memperoleh
kesempatan belajar.
Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur
sosial (empowering school culture and social structure). Dimensi ini penting
dalam memperdayakan budaya siswa yang dibawa ke sekolah yang berasal dari
kelompok yang berbeda. Di samping itu, dapat digunakan untuk menyusun struktur
sosial (sekolah) yang memanfaatkan potensi budaya siswa yang beranekaragam
sebagai karakteristik struktur sekolah setempat, misalnya berkaitan dengan
praktik kelompok, iklim sosial, latihan-latihan, partisipasi ekstrakurikuler
dan penghargaan staff dalam merespon berbagai perbedaan yang ada di sekolah.
Pendekatan yang bisa dipakai dalam proses pembelajaran
di kelas Multibudaya adalah pendekatan kajian kelompok tunggal (Single Group
Studies) dan pendekatan perspektif ganda (Multiple Perspektives Approach).
Pendidikan Multibudaya di Indonesia pada umumnya memakai pendekatan kajian
kelompok tunggal. Pendekatan ini dirancang untuk membantu siswa dalam
mempelajari pandangan-pandangan kelompok tertentu secara lebih mendalam.
Oleh karena itu, harus tersedia data-data tentang
sejarah kelompok itu, kebiasaan, pakaian, rumah, makanan, agama yang dianut,
dan tradisi lainnya. Data tentang kontribusi kelompok itu terhadap perkembangan
musik, sastra, ilmu pengetahuan, politik dan lain-lain harus dihadapkan pada
siswa. Pendekatan ini terfokus pada isu-isu yang sarat dengan nilai-nilai
kelompok yang sedang dikaji.
Sedangkan pendekatan perspektif ganda (Multiple
Perspectives) adalah pendekatan yang terfokus pada isu tunggal yang dibahas
dari berbagai perspektif kelompok-kelompok yang berbeda. Pada umumnya,
guru-guru memiliki berbagai perspektif dalam pembelajarannya.
Pendekatan perspektif ganda membantu siswa untuk
menyadari bahwa suatu peristiwa umum sering diinterpretasikan secara berbeda
oleh orang lain, dimana interpretasinya sering didasarkan atas nilai-nilai
kelompok yang mereka ikuti. Solusi yang dianggap baik oleh suatu kelompok
(karena solusi itu sesuai dengan nilai-nilainya), sering tidak dianggap baik
oleh kelompok lainnya karena tidak cocok dengan nilai yang diikutinya.
Keunggulan pendekatan perspektif ganda ini terletak
pada proses berpikir kritis terhadap isu yang sedang dibahas sehingga mendorong
siswa untuk menghilangkan prasangka buruk. Interaksi dengan pandangan kelompok
yang berbeda-bebada memungkinkan siswa untuk berempati.
Hasil penelitian membuktikan bahwa siswa yang rendah
prasangkanya menunjukkan sikap yang lebih sensitif dan terbuka terhadap
pandangan orang lain. Mereka juga mampu berpikir kritis, karena mereka lebih
bersikap terbuka, fleksibel, dan menaruh hormat pada pendapat yang berbeda.
Bahan pelajaran dan aktivitas belajar yang kuat aspek
afektifnya tentang kehidupan bersama dalam perbedaan kultur terbukti efektif
untuk mengembangkan perspektif yang fleksibel. Siswa yang memiliki rasa empati
yang besar memungkinkan dia untuk menaruh rasa hormat terhadap perbedaan cara
pandang.
Tentu saja hal itu akan mampu mengurangi prasangka
buruk terhadap kelompok lain. Membaca buku sastra multietnik dapat mengurangi
stereotipe negatif tentang budaya orang lain. Pendekatan perspektif ganda
mengandung dua sasaran yaitu meningkatkan empati dan menurunkan prasangka.
Empati terhadap kultur yang berbeda merupakan prasyarat bagi upaya menurunkan
prasangka.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan Multibudaya mencoba
membantu menyatukan bangsa secara demokratis, dengan menekankan pada perspektif
pluralitas masyarakat di berbagai bangsa, etnik, kelompok budaya yang berbeda.
Dengan demikian sekolah dikondisikan untuk mencerminkan praktik dari
nilai-nilai demokrasi.
Pendidikan Multibudaya juga membantu peserta didik
untuk mengakui pandangan-pandangan budaya yang beragam, mengembangkan kebanggan
terhadap warisan budaya mereka. Selain itu pendidikan multibudaya
diselenggarakan dalam upaya mengembangkan kemampuan peserta didik dalam
memandang kehidupan dari berbagai perspektif budaya yang berbeda satu dengan
yang lainnya.
Kurikulum, model pembelajaran, dan
suasana sekolah harus diseragamkan dan menghilangkan perbedaan yang ada, hal
ini dilakukan untuk merujuk pendidikan lebih multibudaya. Selain itu peran guru
harus dibuat Multibudaya dan peran keluarga yang sangat penting untuk
pelaksanaan Multibudaya.
Isi, pendekatan, dan evaluasi kurikulum harus
menghargai perbedaan dan tidak diskriminatif. Isi dan bahan ajar di sekolah
perlu dipilih yang sungguh menekankan pengenalan dan penghargaan terhadap
budaya dan nilai lain
B. Saran
Penyusun makalah ini
membutuhkan perbaikan dan kritik serta saran yang sifatnya membangun sehingga
agar penyusunan makalah dimasa mendatang akan lebih baik lahi. Untuk itu kami
mohon saran dalam melengkapi makalah ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar