Sabtu, 19 Mei 2018

Pelaksanaan pembelajaran multi budaya


MAKALAH MANAJEMEN PENDIDIKAN BERBASIS MULTI BUDAYA
PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MULTI BUDAYA SECARA INTEGRASI

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Pendidikan Berbasis Multi Budaya Manajaemen Pendidikan Islam MPI VI A dengan dosen pengampu Bapak Fadhil Santosa S.Pd.I., M.Pd.I












Disusun Oleh Kelompok 11 :
Desi puspitasari                       (1510631120020)
Ikbal Maaulana                       (1510631120034)





MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG
2018

KATA PENGANTAR


Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat limpahan rahmat dan nikmat kesempatan sehingga kita bisa menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Dengan judul yang akan saya bahas pada makalah kali ini mengenai “Pelaksanaan Pembelajaran Multi Budaya Secara Integrasi.
Atas dukungan moral dan materi yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka saya mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1.        Bapak Dr. H. Amirudin, M.Pd.I selaku dekan Fakultas Agama Islam
2.        Bapak Dr. H. Masykur Mansyur Drs, MM selaku ketua kaprodi jurusan Manajemen Pendidikan Islam
3.        Bapak Fadil Santosa, S. Pd.I., M. Pd.I selaku dosen pembimbing mata kuliah yang memberikan saran, ide dalam memberikan masukan kepada saya dalam pembuatan makalah.
Kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan karena sebagai manusia biasa saya tidak lepas dari kesalahan, maka dari itu saya mohon dukungan dari berbagai pihak demi kebaikan kedepannya.
Demikianlah makalah ini saya buat, atas perhatian dan kesempatannya untuk membaca saya ucapkan terima kasih.

Karawang, 30 April 2018

Penyusun








                                                                                     

DAFTAR ISI

 

BAB III PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

 

 

 

 

 

 


BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1         Latar Belakang

Kurikulum menampakkan aneka kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat, bahasa, dan dialek dimana para peserta didik lebih baik berbicara tentang rasa hormat diantara mereka dan menjunjung tinggi nilai-nilai kerja sama, daripada membicarakan persaingan dan prasangka diantara sejumlah peserta didik yang berbeda dalam hal ras, etnik, budaya, dan kelompok status sosialnya.
Pembelajaran multibudaya adalah pembelajaran yang didasari atas filosofi kebebasan, keadilan, kesederajatan, dan keseimbangan setiap hak-hak manusia, sekalipun setiap orang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Hakekat pendidikan Multibudaya mempersiapkan seluruh peserta didik untuk bekerja secara aktif menuju kesamaan struktur dalam organisasi dan lembaga sekolah.
Pembelajaran berbasis Multibudaya berusaha memberdayakan peserta didik untuk mengembangkan rasa hormat kepada orang yang berbeda budaya, memberi kesempatan untuk bekerja bersama dengan orang atau kelompok orang yang berbeda etnis atau rasnya secara langsung.

1.2         Rumusan Masalah

1.        Apa pengertian pendidikan multibudaya ?
2.        Bagaimana model perubahan identitas etnik ?
3.        Bagaimana implementasi filosofi binekha tunggal ika dalam dunia pendidikan ?

1.3         Tujuan

1.        Untuk mengetahui pengertian pendidikan multibudaya.

2.        Untuk mengetahui model perubahan identitas etnik

3.        Untuk mengetahui implementasi filosofi binekha tunggal ika dalam dunia pendidikan

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1         Pengertian Hakikat Multi Budaya

Pendidikan multibudaya adalah kebijakan dalam praktik pendidikan dalam mengakui, menerima, menghargai, dan menghormati latar belakang bangsa Indonesia yang beranekaragam budayanya. Pendidikan multibudaya adalah suatu sikap yang memahami adanya perbedaan budaya bangsa Indonesia sebagai suatu keunikan, dengan tanpa adaya diskriminatif antar perbedaan-perbedaan tersebut.
Pendidikan Multibudaya merupakan strategi pendidikan yang memanfaatkan keberagaman latar belakang kebudayaan dari para peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk membentuk sikap multikultural. Strategi ini amat bermanfaat bagi pihak sekolah untuk menanamkan konsep kebudayaan, perbedaan budaya, dan demokrasi dalam arti yang luas.
Dalam konteks yang luas, pendidikan Multibudaya mencoba membantu menyatukan bangsa secara demokratis, dengan menekankan pada perspektif pluralitas masyarakat di berbagai bangsa, etnik, kelompok budaya yang berbeda. Dengan demikian sekolah dikondisikan untuk mencerminkan praktik dari nilai-nilai demokrasi.
Tujuan pendidikan dengan berbasis Multibudaya dapat diidentifikasi sebagai berikut:
a)        Untuk mengfungsikan peranan sekolah dalam memandang keberadaan peserta didik yang beraneka ragam.
b)        Untuk membantu peserta didik dalam membangun perlakuan yang positif terhadap perbedaan cultural, ras, etnik, dan kelompok keagamaan.
c)        Memberikan ketahanan peserta didik dengan cara mengajar mereka dalam mengambil keputusan dan keterampilan sosialnya.
d)        Untuk membantu peserta didik dalam membangun ketergantungan lintas budaya dan memberi gambaran positif kepada mereka mengenai perbedaan.

2.2         Model-model perubahan Identitas Etnik

Indonesia adalah Negara yang berlatar belakang budaya yang beranekaragam. Hal ini menunjukan bahwa tidak mustahil terjadinya Culture Shock, terdapat dua model perubahan identitas etnik, diantaranya adalah:
1.             Model Perubahan Identitas Penduduk Sementara
Dalam beberapa penelitian mengonsepkan penduduk musiman dari beragai prespektif perkembangan. Terdapat dalah satu pertanyaan mengenai cara penduduk musiman beradaptasi, Lysgaard mengembangkan satu model penyesuaian antarbudaya yang terdiri atas tiga fase yang mencangkup penyesuaian awal, kritis, dan penyesuaian yang diperoleh kembali.
Penyesuaian awal adalah fase optimistis dari proses penyesuaian para penduduk musiman, yang kedua merupakan fase yang menekan ketika realitas terbentuk dan penduduk musiman diluapi ketidakmampuan mereka, dan yang ketiga adalah fase penetapan saat penduduk musiman belajar mengatasi lingkungan baru.
Dari gagasan-gagasan tersebut, Lysgaard mengajukan model kurva-U sebagai proses penyesuaian penduduk musiman, sekaligus menyatakan bahwa penduduk musiman melalui fase awal “bulan madu”, lalu mengalami “kemerosotan” atau fase yang membuat tertekan, dan akhirnya menguasai diri mereka hingga mencapai satu fase dalam mengelola tugas-tugas mereka diluar negeri.
Dalam mengembangkan model kurva-U, Gullahorn mengajukan model kurva-W dengan enam jenjang, yakni fase bulan madu, permusuhan, penuh humor, merasa seperti di rumah sendiri, guncangan budaya reentry, dan resosialisasi. Sebagai pengembangan lebih lanjut dari model Gullahorn ini, dikembangkan model penyesuaian berbentuk W yang merupakan hasil revisi dengan tujuh jenjang, yaitu jenjang bulan madu, permusuhan, penuh humor, in-sync, ambivalensi, guncangan budaya, dan resosialisasi.




2.             Model Perubahan Identitas Imigran dan Minoritas
Akulturasi adalah proses beranekasegi dan multidimensional yang melibatkan proses perubahan level sistem dan individu. Para antropologis mengartikan akulturasi sebagai kontak langsung yang berlangsung terus-menerus antara kelompok-kelompok individu yang memproduksi perubahan berikutnya dalam pola-pola budaya salah satu atau dua kelompok tersebut. Transformasi individu ini dapat terjadi dalam masyarakat yang monokultural atau pluralistis.
Dalam masyarakat monokultural dengan tuntutan akan konformitas yang tinggi, akulturasi bagi inhabitan jangka panjang secara tipikal bersifat unidirectional. Dalam masyarakat pluralistis, akulturasi dapat mengambil banyak bentuk dan arah. Konsep akulturasi melibatkan banyak isu, seperti batas dalam kelompok/ luar kelompok, tekanan konformitas, perilaku dan hubungan kelompok minoritas-mayoritas, dan pemeliharaan warisan etnis serta asimilasi budaya yang lebih besar.
Dari perspektif tipologis minoritas-mayoritas, penonjolan identitas etnis/kultural dapat dipandang sebagai model empat rangkap yang menekankan orientasi individu terhadap isu-isu pemeliharaan identitas etnis dan identitas budaya yang lebih besar.
Menurut Berry, imigran yang cenderung mengedepankan pemeliharaan tradisi etnis dan merendahkan siginifikansi nilai-nilai dan norma-norma budaya baru menerapkan opsi yang berorientasi tradisional. Individu yang mengedepankan pemeliharaan tradisi etnis dan pada saat yang bersamaan menampakkan gerakan untuk menjadi bagian dari masyarakat yang lebih besar, menerapkan opsi yang berorientasi bikultural atau integratif.
Individu yang menganggap rendah signifikansi nilai-nilai dan norma-norma etnis mereka dan cenderung memandang diri mereka sebagai anggota masyarakat yang lebih besar, menerapkan opsi asimilasi. Individu yang kehilangan kontak psikologis/etnis dengan kelompok etnis sekaligus masyarakat yang lebih besar dan mengalami perasaan alienasi dan kehilangan identitas, mengalami marjinalisasi.




2.3         Langkah-langkah Implementasi Filosofi Bhineka Tunggal Ika dalam dunia pendidikan

Kurikulum, model pembelajaran, dan suasana sekolah harus diseragamkan dan menghilangkan perbedaan yang ada, hal ini dilakukan untuk merujuk pendidikan lebih multibudaya. Selain itu peran guru harus dibuat Multibudaya dan peran keluarga yang sangat penting untuk pelaksanaan Multibudaya.
Isi, pendekatan, dan evaluasi kurikulum harus menghargai perbedaan dan tidak diskriminatif. Isi dan bahan ajar di sekolah perlu dipilih yang sungguh menekankan pengenalan dan penghargaan terhadap budaya dan nilai lain.
Pertama, misalnya dalam semua bidang pelajaran, dimasukkan nilai dan tokoh-tokoh dari budaya lain agar siswa mengerti bahwa dalam tiap budaya, ilmu itu dikembangkan. Contoh-contoh ilmuwan dan hasil teknologi, perlu diambil dari berbagai budaya dan latar belakang termasuk jender. Kesamaan dan perbedaan antarbudaya perlu dijelaskan dan dimengerti. Siswa dibantu untuk kian mengerti nilai budaya lain, menerima dan menghargainya. Misalnya, dalam mengajarkan makanan, pakaian, cara hidup, bukan hanya dijelaskan dari budayanya sendiri, tetapi juga yang lain.
Kedua, model pembelajaran dalam kelas pun perlu diwarnai multikultural, yaitu dengan menggunakan berbagai pendekatan berbeda-beda. Penyajian bahan, termasuk matematika, dalam memberi contoh, guru perlu memilih yang beraneka nilai. Buku-buku yang ditulis dalam pelajaran pun perlu disusun untuk menghargai budaya lain dan penghargaan gender.
Ketiga, suasana sekolah amat penting dalam penanaman nilai multibudaya. Sekolah harus dibangun dengan suasana yang menunjang penghargaan budaya lain. Relasi guru, karyawan, siswa yang berbeda budaya diatur dengan baik, ada saling penghargaan. Anak dari kelompok lain tidak ditolak tetapi dihargai.
Keempat, dengan menyeragamkan dan menghilangkan perbedaan yang ada, baik dari segi budaya, agama, nilai, dan lain-lain. Sikap saling menerima, menghargai nilai, budaya, keyakinan yang berbeda tidak otomatis akan berkembang sendiri. Apalagi karena dalam diri seseorang ada kecenderungan untuk mengharapkan orang lain menjadi seperti dirinya.


Kelima, dengan sikap saling menerima dan menghargai akan cepat berkembang bila dilatihkan dan dididikkan pada generasi muda dalam sistem pendidikan nasional. Dengan pendidikan, sikap penghargaan terhadap perbedaan yang direncana baik, generasi muda dilatih dan disadarkan akan pentingnya penghargaan pada orang lain dan budaya lain bahkan melatihnya dalam hidup sehingga sewaktu mereka dewasa sudah mempunya sikap itu. Di sini pemerintah dan tiap sekolah perlu memikirkan model dan bentuk yang sesuai.
Keenam, lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau untuk hidup bersama secara damai.
Agar proses ini berjalan sesuai harapan, maka seyogyanya kita mau menerima jika pendidikan Multibudaya disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan, serta jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
James A. Banks, mengidentifikasi ada lima dimensi pendidikan Multibudaya yang diperkirakan dapat membantu guru dalam mengimplementasikan beberapa program yang mampu merespon terhadap perbedaan pelajar (siswa), yaitu:
1.             Dimensi integrasi isi/materi (content integration).
Dimensi ini digunakan oleh guru untuk memberikan keterangan dengan ‘poin kunci’ pembelajaran dengan merefleksi materi yang berbeda-beda. Secara khusus, para guru menggabungkan kandungan materi pembelajaran ke dalam kurikulum dengan beberapa cara pandang yang beragam.
Salah satu pendekatan umum adalah mengakui kontribusinya, yaitu guru-guru bekerja ke dalam kurikulum mereka dengan membatasi fakta tentang semangat kepahlawanan dari berbagai kelompok. Di samping itu, rancangan pembelajaran dan unit pembelajarannya tidak dirubah. Dengan beberapa pendekatan, guru menambah beberapa unit atau topik secara khusus yang berkaitan dengan materi multikultural.
2.             Dimensi konstruksi pengetahuan (knowledge construction).
Suatu dimensi dimana para guru membantu siswa untuk memahami beberapa perspektif dan merumuskan kesimpulan yang dipengaruhi oleh disiplin pengetahuan yang mereka miliki. Dimensi ini juga berhubungan dengan pemahaman para pelajar terhadap perubahan pengetahuan yang ada pada diri mereka sendiri;
3.             Dimensi pengurangan prasangka (prejudice ruduction).
Guru melakukan banyak usaha untuk membantu siswa dalam mengembangkan perilaku positif tentang perbedaan kelompok. Sebagai contoh, ketika anak-anak masuk sekolah dengan perilaku negatif dan memiliki kesalahpahaman terhadap ras atau etnik yang berbeda dan kelompok etnik lainnya, pendidikan dapat membantu siswa mengembangkan perilaku intergroup yang lebih positif, penyediaan kondisi yang mapan dan pasti.
Dua kondisi yang dimaksud adalah bahan pembelajaran yang memiliki citra yang positif tentang perbedaan kelompok dan menggunakan bahan pembelajaran tersebut secara konsisten dan terus-menerus. Penelitian menunjukkan bahwa para pelajar yang datang ke sekolah dengan banyak stereotipe, cenderung berperilaku negatif dan banyak melakukan kesalahpahaman terhadap kelompok etnik dan ras dari luar kelompoknya.
Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan teksbook multikultural atau bahan pengajaran lain dan strategi pembelajaran yang kooperatif dapat membantu para pelajar untuk mengembangkan perilaku dan persepsi terhadap ras yang lebih positif. Jenis strategi dan bahan dapat menghasilkan pilihan para pelajar untuk lebih bersahabat dengan ras luar, etnik dan kelompok budaya lain.
Dimensi pendidikan yang sama/adil (equitable pedagogy). Dimensi ini memperhatikan cara-cara dalam mengubah fasilitas pembelajaran sehingga mempermudah pencapaian hasil belajar pada sejumlah siswa dari berbagai kelompok. Strategi dan aktivitas belajar yang dapat digunakan sebagai upaya memperlakukan pendidikan secara adil, antara lain dengan bentuk kerjasama (cooperatve learning), dan bukan dengan cara-cara yang kompetitif (competition learning).


Dimensi ini juga menyangkut pendidikan yang dirancang untuk membentuk lingkungan sekolah, menjadi banyak jenis kelompok, termasuk kelompok etnik, wanita, dan para pelajar dengan kebutuhan khusus yang akan memberikan pengalaman pendidikan, persamaan hak dan persamaan memperoleh kesempatan belajar.
Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school culture and social structure). Dimensi ini penting dalam memperdayakan budaya siswa yang dibawa ke sekolah yang berasal dari kelompok yang berbeda. Di samping itu, dapat digunakan untuk menyusun struktur sosial (sekolah) yang memanfaatkan potensi budaya siswa yang beranekaragam sebagai karakteristik struktur sekolah setempat, misalnya berkaitan dengan praktik kelompok, iklim sosial, latihan-latihan, partisipasi ekstrakurikuler dan penghargaan staff dalam merespon berbagai perbedaan yang ada di sekolah.
Pendekatan yang bisa dipakai dalam proses pembelajaran di kelas Multibudaya adalah pendekatan kajian kelompok tunggal (Single Group Studies) dan pendekatan perspektif ganda (Multiple Perspektives Approach). Pendidikan Multibudaya di Indonesia pada umumnya memakai pendekatan kajian kelompok tunggal. Pendekatan ini dirancang untuk membantu siswa dalam mempelajari pandangan-pandangan kelompok tertentu secara lebih mendalam.
Oleh karena itu, harus tersedia data-data tentang sejarah kelompok itu, kebiasaan, pakaian, rumah, makanan, agama yang dianut, dan tradisi lainnya. Data tentang kontribusi kelompok itu terhadap perkembangan musik, sastra, ilmu pengetahuan, politik dan lain-lain harus dihadapkan pada siswa. Pendekatan ini terfokus pada isu-isu yang sarat dengan nilai-nilai kelompok yang sedang dikaji.
Sedangkan pendekatan perspektif ganda (Multiple Perspectives) adalah pendekatan yang terfokus pada isu tunggal yang dibahas dari berbagai perspektif kelompok-kelompok yang berbeda. Pada umumnya, guru-guru memiliki berbagai perspektif dalam pembelajarannya.
Pendekatan perspektif ganda membantu siswa untuk menyadari bahwa suatu peristiwa umum sering diinterpretasikan secara berbeda oleh orang lain, dimana interpretasinya sering didasarkan atas nilai-nilai kelompok yang mereka ikuti. Solusi yang dianggap baik oleh suatu kelompok (karena solusi itu sesuai dengan nilai-nilainya), sering tidak dianggap baik oleh kelompok lainnya karena tidak cocok dengan nilai yang diikutinya.
Keunggulan pendekatan perspektif ganda ini terletak pada proses berpikir kritis terhadap isu yang sedang dibahas sehingga mendorong siswa untuk menghilangkan prasangka buruk. Interaksi dengan pandangan kelompok yang berbeda-bebada memungkinkan siswa untuk berempati.
Hasil penelitian membuktikan bahwa siswa yang rendah prasangkanya menunjukkan sikap yang lebih sensitif dan terbuka terhadap pandangan orang lain. Mereka juga mampu berpikir kritis, karena mereka lebih bersikap terbuka, fleksibel, dan menaruh hormat pada pendapat yang berbeda.
Bahan pelajaran dan aktivitas belajar yang kuat aspek afektifnya tentang kehidupan bersama dalam perbedaan kultur terbukti efektif untuk mengembangkan perspektif yang fleksibel. Siswa yang memiliki rasa empati yang besar memungkinkan dia untuk menaruh rasa hormat terhadap perbedaan cara pandang.
Tentu saja hal itu akan mampu mengurangi prasangka buruk terhadap kelompok lain. Membaca buku sastra multietnik dapat mengurangi stereotipe negatif tentang budaya orang lain. Pendekatan perspektif ganda mengandung dua sasaran yaitu meningkatkan empati dan menurunkan prasangka. Empati terhadap kultur yang berbeda merupakan prasyarat bagi upaya menurunkan prasangka.













BAB III
PENUTUP

A.           Kesimpulan

Pendidikan Multibudaya mencoba membantu menyatukan bangsa secara demokratis, dengan menekankan pada perspektif pluralitas masyarakat di berbagai bangsa, etnik, kelompok budaya yang berbeda. Dengan demikian sekolah dikondisikan untuk mencerminkan praktik dari nilai-nilai demokrasi.
Pendidikan Multibudaya juga membantu peserta didik untuk mengakui pandangan-pandangan budaya yang beragam, mengembangkan kebanggan terhadap warisan budaya mereka. Selain itu pendidikan multibudaya diselenggarakan dalam upaya mengembangkan kemampuan peserta didik dalam memandang kehidupan dari berbagai perspektif budaya yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Kurikulum, model pembelajaran, dan suasana sekolah harus diseragamkan dan menghilangkan perbedaan yang ada, hal ini dilakukan untuk merujuk pendidikan lebih multibudaya. Selain itu peran guru harus dibuat Multibudaya dan peran keluarga yang sangat penting untuk pelaksanaan Multibudaya.
Isi, pendekatan, dan evaluasi kurikulum harus menghargai perbedaan dan tidak diskriminatif. Isi dan bahan ajar di sekolah perlu dipilih yang sungguh menekankan pengenalan dan penghargaan terhadap budaya dan nilai lain

B.            Saran

Penyusun makalah ini membutuhkan perbaikan dan kritik serta saran yang sifatnya membangun sehingga agar penyusunan makalah dimasa mendatang akan lebih baik lahi. Untuk itu kami mohon saran dalam melengkapi makalah ini

 





 

 


Tidak ada komentar: