Rabu, 21 Desember 2016

PENDIDIKAN ISLAM DI ERA GLOBALISASI



KATA PENGANTAR



Assalamu'alaikum Wr. Wb
  Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-NYA sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tujuan penulisan

    Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

    Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya, saya yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu saya sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb

                                                                                       Karawang, 12 April 2016

                                                                                               Penyusun


DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 1
1.3 Tujuan ............................................................................................................... 1

BAB II LANDASAN TEORI
1.1 Pengertian pendidikan islam .............................................................................. 2
2.1 Pengertian globalisasi ........................................................................................ 3

BAB III PEMBAHASAN
2.1 Pendidikan islam dalam konteks kekinian ......................................................... 4
2.2 Rektualisasi pendidikan islam ........................................................................... 5
2.3 Peran pendidikan islam di era globalisasi .......................................................... 6
BAB IV PENUTUP
A.    Kesimpulan ..................................................................................................... 12
B.     Saran ................................................................................................................ 12

DAFTAR PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN


1.1              Latar Belakang
Arus globalisasi saat ini menimbulkan banyak sekali perubahan dari segala aspek kehidupan. Perubahan ini tidak dapat dihindari akibat ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih. Hal ini menggugah kesadaran masyarakat umum akan pentingnya pendidikan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan kewajiban bagi mereka.
Di era globalisasi ini, Dunia pendidikan mau tak mau harus menerima perkembangan zaman dan kemajuan teknologi yang sebagian besar bersumber dari negara-negara barat seperti: televisi, handphone, komputer dan lain-lain,
Walaupun demikian umat Islam harus bisa membentengi pendidikan Islam itu sendiri. apabila tidak bisa melakukannya maka yang akan terjadi adalah pendidikan Islam akan melenceng dari ajaran-ajaran Islam Nabi ketika perjalanan hidup tidak lepas dari teknologi yang berjalan cepat dihadapan umat Islam. maka tidak seharusnya mereka hanya menyibukkan dirinya dengan kehidupan yang berbau teknologi tetapi yang harus mereka lakukan yaitu menerima globalisasi tanpa harus melupakan perbuatan dalam ajaran Islam untuk mendapat kebahagiaan dunia akhirat.
1.2     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pendidikan Islam dalam konteks kekinian ?
2.      Bagaimana reatualisasi pendidikan islam ?
3.      Bagaimana peran pendidikan Islam di era modern?
1.3     Tujuan
1.      Untuk mengetahui pendidikan Islam dalam konteks kekinian.
2.      Untuk mengetahui reatualisasi pendidikan islam.
3.      Untuk mengetahui peran pendidikan islam di era globalisasi.


BAB II
LANDASAN TEORI

1.1  Pengertian pendidikan islam


Secara bahasa Pendidikan berasal dari kata "at-tarbiyah" Yang artinya bertambah,memperbaiki, dan membimbing, "al-ta'lim" yaitu mengajar, sedangkan "al-ta'dib" Yang berarti memberi adab.
Sedangkan secara istilah yang dirumuskan oleh pakar pendidikan islam, yaitu :

1.      Al Abrasyi, mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna akhlaknya, teratur pikirannya, halus perasaanya, mahir dalam pekerjaannya, dan manis tutur katanya baik lisan ataupun tulisan.
2.      Omar Mohammad Al Thoumi Al Syaibani, pendidikan islam ialah proses mengubah tingkah laku individu pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam sekitarnya dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi asasi masyarakat.
Berdasarkan beberapa rumusan yang dikemukakan oleh para ahli, maka pendidikan islam dapat dirumuskan sebagai berikut : " Pendidikan Islam adalah proses transinternalisasi pengetahuan dan nilai-nilai islam kepada peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan, dan pemgembangan potensinya, guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat.

2.1  Pengertian Globalisasi

Kata globalisasi sebenarnya merupakan serapan dari bahasa asing yaitu bahasa Inggris globalization. Kata globalization sendiri sebenarnya berasal dari kata global yang berarti universal yang mendapat imbuhan -lization yang bisa dimaknai sebagai proses.Globalisasi diartikan sebagai suatu proses dimana bata-batas suatu negara menjadi semakin sempit karena kemudahan interaksi antara negara baik berupa pertukaran informasi, perdagangan,  teknologi, gaya hidup dan bentuk-bentuk interaksi yang lain.
Pengaruh mereka di segala bidang terhadap negara-negara berkembang yang baru terlepas dari belenggu penjajahan berdampak positif dan negatif sekaligus. Berdampak positif, karena pada beberapa segi ikut mendorong negara-negara baru berkembang untuk maju secara teknis, serta menjadi lebih sejahtera secara material. Sedangkan dampak negatifnya antara lain berupa: (1) munculnya teknokrasi dan tirani yang sangat berkuasa dan; (2) didukung oleh alat-alat teknik modern dan persenjataan yang canggih.
Globalitas berarti bahwa mulai sekarang tak ada kejadian di planet kita yang hanya pada situasi lokal terbatas; semua temuan, kemenangan dan bencana mempengaruhi seluruh dunia . Globalitas adalah proses baru setidaknya karena tiga alasan. Pertama, pengaruhnya atas ruang geografis jauh lebih ekstensif. Kedua, pengaruhnya atas waktu jauh lebih stabil; pengaruhnya terus berlanjut dari waktu ke waktu. Ketiga, ada densitas (density) yang lebih besar untuk “jaringan transnasional, hubungan dan arus pekerjaan jaringan”.



  
BAB III
PEMBAHASAN


2.1              Pendidikan Islam dalam Konteks Kekinian
            Dalam konteks ini kita akan menjumpai betapa pendidikan islam, yang segi kuantitas menunjukan perkembangan yang dinamis. Namun dari segi kualitas, masih dipertanyakan. Harus diakui berdasarkan penomena yang ada, out-put lembaga pendidikan islam dalam menempuh lapangan kerja dalam negeri saja masih jauh dari harapan masyarakat. Apalagi bila dikaitkan dengan persaingan global dalam era pasar bebas.
kondisi seperti diatas disebabkan oleh lembaga pendidikan islam menghadapi berbagai persoalan.
1.      Persoalan berkaitan dengan normatif filosofolis. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam berbagai rumusan tujuan pendidikan islam. Kalau gambaran manusia ideal yang ingin dicapai oleh pendidikan islam adalah : insan kamil, manusia beriman dan bertakwa, manusia yang hasanah fi al-dunya wahasanah fi al-akhirat, manusia yang ubudiyah, khalifah Allah fi al-ardh.
      Selain itu pendidikan islam masih belum juga dapat menuntaskan bagaimana sebenarnya konsep ilmu-ilmu keislaman, apakah dengan menggalinya dari sumber aslinya yaitu al qur'an dan hadits atau dengan mengambil konsep-konsep ilmu sekuler dan mencarikan ayat al qur'an dan hadits untuk mengintiminasinya, yaitu dengan mengambil konsep ilmu sekuler dan menyesuaikannya disana-sini.
2.      Menyangkut persoalan intern dan klasik yang berkaitan dengan masalah pendidikan antara lain :
a)      Kualitas guru yang belum memadai
b)      Terbatasnya sumber daya manusia dan dana
c)      Produktifitas lembaga yang kurang bermutu
d)     Efisiensi pendidikan yang rendah
e)      Relevansi pendidikan dengan dunia kerja
f)       Manajemen pendidikan yang seragam
g)      Proses pembelajaran yang kaku
h)      Sarana dan prasarana yang belum lengkap
i)        Perpustakaan yang belum memadai
j)        Kualitas in-put dan out-put yang rendah
2.2  Rektualisasi Pendidikan Islam
      Dalam rangka reatualisasi pendidikan islam, maka sistem pendidikan islam harus direformasi, direkstrukturisasi, dan di inovasi agar dapat menyesuaikan diri dengan dinamika masyarakat.
1.      Menghadapi Pasar Bebas
a.       Lembaga pendidikan islam harus meningkatkan daya saing dengan sungguh-sumgguh dan terencana, sehingga layak bersaing dalam pergaulan internasional dan global. Disamping ilmu dan keterampilan tamatan lembaga pendidikan islam harus mampu berkomunikasi dalam bahasa asing terutama dalam bahasa Arab dan Inggris.
b.      Lembaga pendidikan islam membuka program studi yang bervariasi seperti, program studi Ilmu Alam, Ilmu Sosial, Ilmu Bahasa dan MAKj (yaitu prodi perikanan, pertanian, boga, pertambangan, agronomi,dan lain-lain).
c.       Lembaga pendidikan islam harus memperkuat fungsi-fungsi kritis dan berorientasi ke masa depan melalui analisis yang berkelanjutan tentang kecenderungan-kecenderungan perubahan dan perkembangan sosial, ekonomi, budaya dan politik yang sedang tumbuh.
d.       Lembaga pendidikan islam harus melaksanakan akuntabilitas. Akuntabilitas bukan hanya dalam hal pemanfaatan sumber-sumber keuangan secara lebih hertanggung jawab, tetapi juga dalam pengbangan keilmuan, kandungan pendidikan dan program-program yang diselenggarakan.
e.      Lembaga pendidikan islam harus mrlaksanakan evaluasi secara terus menerus dan berkelanjutan agar jaminan kualitas dapat dipertanggung jawabkan.


2.      Menghadapi Otonomi Daerah
a.       Lembaga pendidikan islam tidak lagi harus tampil dalam bentuk yang uniform dan tunggal untuk seluruh wilayah di Indonesia. Yang perlu diberi kesempatan berkembang senafas dengan aspirasi lingkungannya.
b.      Perlu adanya kerja sama antara Departemen Agama dengan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pendidikan islam, pemerintah daerah bertanggung jawab pada aspek pembayaan, kelembagaan dan manajerial, sesuai dengan kewenangan yang dimiliki sedangkan penyiapan dan pengembangan kurikulum dan materi pembelajaran yang bersifat substansi keagamaan dan ciri kekhususan keislaman tetap dikelola oleh Departemen Agama.
c.       Orientasi pengorganisasian dan pengelolaan madrasah diarahkan kepada tercipranya hubungan timbal balik antara madrasah dan masyarakat dalam rangka memperkuat posisi madrasah sebagai lembaga pendidikan
d.      Organisasi pendidikan di daerah harus lebih baik dari sebelumnya, ramping, lincah, efektif dan efisien.
e.       Menyangkut persoalan normatif-filosofis,yang sampai sekarang masih diperdebatkan para pelaku decision maker pendidikan islam. Oleh karena itu lembaga pendidikan islam harus melakukan reorientasi.

2.3  Peran Pendidikan Islam Dalam Era Globalisasi
Baik secara teologis maupun sosiologis, agama dapat dipandang sebagai instrumen untuk memahami dunia. Dalam konteks itu, hampir tak ada kesulitan bagi agama apapun untuk menerima premis tersebut. Secara teologis, lebih-lebih Islam, hal itu dikarenakan oleh watak omnipresent agama. Yaitu, agama, baik melalui simbol-simbol atau nilai-nilai yang dikandungnya hadir di mana-mana, ikut mempengaruhi, bahkan membentuk struktur sosial, budaya, ekonomi dan politik serta kebijakan publik.

Dengan ciri itu, dipahami bahwa dimanapun suatu agama berada, ia diharapkan dapat memberi panduan nilai bagi seluruh diskursus kegiatan manusia baik yang bersifat sosial budaya, ekonomi, maupun politik. Sementara itu, secara sosiologis, tak jarang agama menjadi faktor penentu dalam proses transformasi dan modernisasi.
Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa kehadiran agama selalu disertai dengan dua muka (janus face). Pada satu sisi, secara inheren agama memiliki identitas yang bersifat exclusive, particularist, dan primordial. Akan tetapi, pada waktu yang sama juga kaya akan identitas yang bersifat inclusive, universalist dan transcending.
Jadi ada dua hal yang harus dilihat dari gambaran tersebut di atas. Yaitu, memahami posisi agama dan meletakkannya dalam situasi yang lebih riil agama secara empirik dihubungkan dengan berbagai persoalan sosial kemasyarakatan.
Dan dalam konteks yang terakhir ini, sering ditemukan ketegangan antara kedua wilayah tersebut agama dan persoalan kemasyarakatan. Untuk meletakkan hubungan antara keduanya dalam situasi yang lebih empirik, sejumlah pemikir dan aktivitas sosial politik telah berusaha membangun paradigma yang dipandang memungkinkan.
Tentu konstruksi pemikiran yang ditawarkan antara lain dipengaruhi dan dibentuk oleh asal-usul teologis dan sosiologis ataupun spacio-temporal serta particularitas yang melingkup mereka.
Tapi, terlepas dari variasi konstruksi pemikiran yang ditawarkan, pada dasarnya ada tiga aliran besar dalam hal ini. Pertama, perspektif makanik-holistik, yang memposisikan hubungan antara agama dan persoalan kemasyarakatan sebagai sesuatu yang tak terpisahkan. Kedua, pemikiran yang mengajukan proposisi bahwa keduanya merupakan wilayah (domains) yang antara satu dengan lainnya berbeda, karenanya harus dipisahkan. Ketiga, pandangan tengah yang mencoba mengintegrasikan pandangan yang antagonistik dalam melihat hubungan antara agama dengan persoalan kemasyarakatan. Di pihak lain, pandangan ini juga ingin melunakkan perspektif mekanik holistik yang seringkali melakukan generalisasi, bahwa agama selalu mempunyai kaitan atau hubungan yang tak terpisahkan dengan masalah kemasyarakatan.

Secara garis besar, aliran ketiga ini berpendapat bahwa agama dan persoalan kemasyarakatan merupakan wilayah yang berbeda. Tapi, karena imbasan nilai-nilai agama dalam persoalan masyarakat dapat terwujud dalam bentuk yang tidak mekanik-holistik dan institusional, di dalam realitas sulit ditemukan bukti-bukti yang tegas (brute fact) bahwa antara keduanya tidak ada hubungan sama sekali. Untuk itu, hubungan antara dua wilayah yang berbeda itu akan selalu ada dalam kadar dan intensitas yang tidak sama serta dalam pola dan bentuk yang tidak selalu mekanistik, formalistik atau legalistik. Seringkali konstruksi polanya mengambil bentuk inspiratif dan substantif.
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniah maupun rohaniah, menumbuh suburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah, manusia dan alam semesta. Dengan demikian, pendidikan Islam itu berupaya untuk mengembangkan individu sepenuhnya, maka sudah sewajarnyalah untuk dapat memahami hakikat pendidikan Islam itu bertolak dari pemahaman terhadap konsep manusia menurut Islam.
Al-Quran meletakkan kedudukan manusia sebagai Khalifah Allah di bumi (Al-Baqarah: 30). Esensi makna Khalifah adalah orang yang diberi amanah oleh Allah untuk memimpin alam. Dalam hal ini manusia bertugas untuk memelihara dan memanfaatkan alam guna mendatangkan kemaslahatan bagi manusia.
Agar manusia dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah secara maksimal, maka sudah semestinyalah manusia itu memiliki potensi yang menopangnya untuk terwujudnya jabatan khalifah tersebut. Potensi tersebut meliputi potensi jasmani dan rohani.
Potensi jasmani adalah meliputi seluruh organ jasmaniah yang berwujud nyata. Sedangkan potensi rohaniah bersifat spiritual yang terdiri dari fitroh, roh, kemauan bebas dan akal. Manusia itu memiliki potensi yang meliputi badan, akal dan roh. Ketiga-tiganya persis segitiga yang sama panjang sisinya. Selanjutnya, Zakiah Daradjat mengemukakan bahwa potensi spiritual manusia meliputi dimensi: akidah, akal, akhlak, perasaan (hati), keindahan, dan dimensi sosial.
Selain dari itu al-Quran menjelaskan juga tentang potensi rohaniah lainnya, yakni al-Qalb, Aqlu An Ruh, an-Nafs. Dengan bermodalkan potensi yang dimilikinya itulah manusia merealisasi fungsinya sebagai khalifah Allah di bumi yang bertugas untuk memakmurkannya.
Di sisi lain, di samping manusia berfungsi sebagai khalifah, juga bertugas untuk mengabdi kepada Allah (Az-Zariyat, 56). Dengan demikian manusia itu mempunyai fungsi ganda, sebagai khalifah dan sekaligus sebagai abd. Fungsi sebagai khalifah tertuju kepada pemegang amanah Allah untuk penguasaan, pemanfaatan, pemeliharaan, dan pelestarian alam raya yang berujung kepada pemakmurannya. Fungsi abd bertuju kepada penghambaan diri semata-mata hanya kepada Allah.
Untuk terciptanya kedua fungsi tersebut yang terintegrasi dalam diri pribadi muslim, maka diperlukan konsep pendidikan yang komprehensif yang dapat mengantarkan pribadi muslim kepada tujuan akhir pendidikan yang ingin dicapai. Agar peserta didik dapat mencapai tujuan akhir (ultimate aim) pendidikan Islam, maka diperlukan konsep pendidikan yang komprehensif yang dapat mengantarkan pribadi muslim kepada tujuan akhir pendidikan yang ingin dicapai.
Agar peserta didik dapat mencapai tujuan akhir (ultimate aim) pendidikan Islam, maka suatu permasalahan pokok yang sangat perlu mendapat perhatian adalah penyusunan rancangan program pendidikan yang dijabarkan dalam kurikulum. Pengertian kurikulum adalah segala kegiatan dan pengalaman pendidikan yang dirancang dan diselenggarakannya oleh lembaga pendidikan bagi peserta didiknya, baik di dalam maupun di luar sekolah dengan maksud untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Berpedoman ruang lingkup pendidikan Islam yang ingin dicapai, maka kurikulum pendidikan Islam itu berorientasi kepada tiga hal, yaitu:
1.      Tercapainya tujuan hablum minallah (hubungan dengan Allah)
2.      Tercapainya tujuan hablum minannas (hubungan dengan manusia)
3.      Tercapainya tujuan hablum minalalam (hubungan dengan alam).
         


Para ahli pendidikan Islam seperti al-Abrasyi, an-Nahlawi, al-jamali, as-Syaibani, al-Ainani, masing-masing mereka tersebut telah merinci tujuan akhir pendidikan Islam yang pada prinsipnya tetap berorientasi kepada ketiga komponen tersebut.
          
Ketiga permasalahan pokok pendidikan Islam di Indonesia itu melahirkan beberapa problema lainnya seperti struktural, kulktural dan sumber daya manusia. Pertama, secara struktural lembaga-lembaga pendidikan Islam negeri berada langsung di bawah kontrol dan kendali Departemen Agama, termasuk pembiayaan dan pendanaan. Problema yang timbul adalah alokasi dana yang dikelola oleh Departemen Agama sangat terbatas. Dampaknya kekurangan fasilitas dan peralatan dan juga terbatasnya upaya pengembangan dan kegiatan non fisik. Idealnya pendanaan pendidikan ini tidak melihat kepada struktural, tetapi melihat kepada cost per siswa atau mahasiswa.
Berkenaan dengan masalah struktural ini juga lembaga pendidikan Islam dihadapkan pula dengan persoalan diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Bagaimana kebijakan Departemen Agama tentang hal ini. Di satu sisi masalah pendidikan termasuk salah satu dari bagian yang pengelolaannya di serahkan ke daerah, sedangkan masalah agama tetap berada pengelolaannya di pusat.
Sehubungan dengan itu perlu dikaji secara cermat dan arif yang melahirkan kebijakan yang tetap mempertahankan eksistensi lembaga pendidikan Islam dan juga perlakuan yang adil dan merata dari segi pendalaman.
Kedua kultural, lembaga pendidikan Islam, terutama pesant5ren dan madrasah banyak yang menganggapnya sebagai lembaga pendidikan kelas dua. Sehingga persepsi ini mempengaruhi masyarakat muslim untuk memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan tersebut.



Pandangan yang menganggap lembaga pendidikan Islam tersebut sebagai lembaga pendidikan kelas dua dapat dilihat dari outputnya, gurunya, sarana dan fasilitas yang terbatas. Dampaknya adalah jarangnya masyarakat muslim yang terdidik dan berpenghasilan yang baik, serta yang memiliki kedudukan/jabatan, memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan Islam seperti di atas.
Ketiganya sumber daya manusia, para pengelola dan pelaksana pendidikan di lembaga pendidikan Islam yang terdiri dari guru dan tenaga administrasi perlu ditingkatkan. Tenaga guru dari segi jumlah dan profesional masih kurang. Guru bidang studi umum (Matematika, IPA, Biologi, Kimia dan lain-lain) masih belum mencukupi. Hal ini sangat berdampak terhadap output-nya.
Hakikat yang sesungguhnya dari pendidikan Islam itu, adalah pendidikan yang memperhatikan pengembangan seluruh aspek manusia dalam suatu kesatuan yang utuh tanpa kompartementalisasi, tanpa terjadi dikhotomi. Pemisahan antara pendidikan agama dan pendidikan umum, seperti yang pernah dilakukan oleh sebagian umat Islam, tentulah tidak sesuai dengan konsep pendidikan. Pemisahan yang seperti itu, dijadikan landasan pemikiran oleh Konferensi Dunia tentang pendidikan Islam untuk diraih.
Melihat masa depan yang akan datang yang penuh dengan tantangan sudah barang tentu tidak bisa menyesuaikan permasalahan jika pendidikan Islam tersebut masih terikat dikhotomi. Berkenaan dengan itu perlu diprogramkan upaya pencapainya, mobilisasi pendidikan Islam tersebut, misalnya melakukan rancangan kurikulum, baik merancang keterkaitan ilmu agama dan umum maupun merancang nilai-nilai Islami pada setiap pelajaran; personifikasi pendidik di lembaga pendidikan sekolah Islam, sangat dituntut memiliki jiwa keislaman yang tinggi dan; lembaga pendidikan Islam dapat merealisasikan konsep kurikulum pendidikan Islam seutuhnya.

BAB IV
PENUTUP

A.                A. Kesimpulan
Pendidikan Agama sebagai suatu media atau wahana untuk menanamkan nilai-nilai moral dan ajaran keagamaan, alat pembentukan kesadaran bangsa, alat meningkatkan taraf ekonomi, alat mengurangi kemiskinan, alat mengangkat status sosial, alat menguasai teknologi, serta media untuk menguak rahasia alam raya dan manusia.
Pendidikan Islam bertujuan membentuk pribadi muslim sepenuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik jasmaniah maupun rohaniah, menumbuh suburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah, manusia dan alam semesta dengan cara mengembangkan aspek struktural, kultural dan berupaya meningkatkan sumber daya manusia guna mencapai taraf hidup yang paripurna.
Era globalisasi memunculkan era kompetisi yang berbicara keunggulan, hanya manusia unggul yang akan survive di dalam kehidupan yang penuh persaingan, karena itu salah satu persoalan yang muncul bagaimana upaya untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Membentuk manusia unggul partisipatoris, yakni manusia yang ikut serta secara aktif dalam persaingan yang sehat untuk mencari yang terbaik. Keunggulan partisipatoris dengan sendirinya berkewajiban untuk menggali dan mengembangkan seluruh potensi manusia yang akan digunakan dalam kehidupan yang penuh persaingan juga semakin tajam.

B.     Saran
Saya menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu saya
senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dah arahan serta saran dan krtitik yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya.





DAFTAR PUSTAKA



1)Ramayulis. 2002. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Kalam Mulia.

2)Daradjat, Zakiah. 1984. Pembinaan Dimensi Rohaniyah Manusia dalam Pandangan Islam. Medan: IAIN.

3)Daulay, Haidar Putra. 2004. Pendidikan Islam: Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Prenada Media.

4)Langgulung, Hasan. 1986. Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikhologi dan Pendidikan. Jakarta: Pustaka Al-Husna.







Tidak ada komentar: